TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, menilai para kelompok pelaku teror di Sarinah lebih menyasar kerumunan, bukan kelompok tertentu. Hal itu terlihat dari para korban akibat teror yang terjadi pukul 10.00 itu.
Ada 22 korban dari tragedi itu yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ada yang berwarga negara asing, wanita, dan polisi. “Kasus ini sama dengan kasus teror bom di Paris, Prancis, yang juga menyasar kerumunan,” kata Taufik saat dihubungi, 14 Januari 2016.
Menurut Taufik, beberapa kelompok radikal yang juga berafiliasi dengan ISIS sempat menyasar kelompok aparat keamanan sebagai target. Alasannya, polisi dan aparat lain telah menangkap teman-teman mereka.
Dalam ilmu yang didalaminya, ada beberapa kelompok radikal yang dilarang membunuh atau menyakiti wanita tanpa senjata. “Namun pada kasus Bom Sarinah, asing, wanita, dan aparat termasuk korban. Target mereka kali ini random,” ujar Taufik.
Menurut Taufik, kesamaan lain tragedi ini dengan kasus di Paris adalah kejadian yang dilakukan secara terbuka. Alih-alih menaruh bom lalu kabur diam-diam dan membiarkan bom meledak sendiri, pelaku membawa senjata api dan menyalakan bom agar terlihat. Hal ini juga terjadi di Paris. “Tujuannya tentu agar bisa diliput dan dikenal melalui media. Agar stabilitas ekonomi dan politik serta membuat rasa takut di masyarakat.”
Taufik berujar, kejadian ini pun bisa menjadi salah satu teror yang sempat tercium sejak Desember lalu. “Saya menduga, teror ini berhubungan dengan penangkapan di Poso Desember lalu,” katanya. Ia menduga ada ketidakcocokan perhitungan antara Badan Intelijen Negara dan teror yang sudah disiapkan para pelaku kejahatan itu.
Sebelumnya, terjadi teror di Jakarta pada 14 Januari sekitar pukul 10.00. Teror itu berupa ledakan yang terjadi di dekat pos polisi lalu lintas di Jalan Thamrin, depan Sarinah, Jakarta Pusat. Tak lama setelah ledakan itu, terjadi baku tembak antara polisi dan kelompok teroris.
MITRA TARIGAN