TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengaku dilarang Mahkamah Kehormatan Partai Persatuan Pembangunan untuk mengeluarkan surat keputusan kepengurusan PPP. Menurut dia, jika mengacu putusan Mahkamah Agung, seharusnya kementeriannya mengesahkan pengurus hasil Muktamar Jakarta dengan pimpinan Djan Faridz.
"Isinya khusus, mengatakan agar Kemenkumham jangan dulu keluarkan SK pengesahan karena mereka ingin islah," kata Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 13 Januari 2016. Menurut Yasonna, konflik PPP sebaiknya diselesaikan dengan cara kekeluargaan. "Para tokoh sesepuh PPP dan presiden juga mendorong hal itu," katanya.
Meskipun mendorong islah, Yasonna mengaku tetap mengirim surat kepada Djan Faridz untuk melengkapi dokumen agar bisa mendapat SK kepengurusan. Dokumen yang harus dilengkapi itu, di antaranya adalah surat dari Mahkamah Partai, dokumen muktamar, surat mandat, dan berita acara. "Semua partai juga melakukan itu," katanya.
Sebelumnya, kubu M. Romahurmuziy menganggap dengan putusan Mahkamah Agung tersebut, kepengurusan partai kembali hasil Muktamar Bandung pada 2011, yang diketuai Suryadharma Ali, dengan empat wakil ketua umum, yakni Lukman Hakim Saifuddin, Asrul Azwar, Emron Pangkapi, dan Suharso Monoarfa.
Menurut Romi, karena Suryadharma terseret kasus korupsi dan sudah divonis, partai harus memilih pelaksana tugas Ketua Umum PPP. Sesuai aturan partai, hanya Wakil Ketua Umum PPP yang bisa mencalonkan. Senin malam kemarin, pengurus memilih Emron Pangkapi sebagai Plt Ketua Umum PPP hingga terlaksana muktamar islah.
Pada Selasa kemarin, kubu Romi dan Djan Faridz dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana. Seusai pertemuan, kubu Romi menyatakan kesediaannya untuk islah selambat-lambatnya 27 hari lagi. Namun, Kubu Djan menolaknya.
TIKA PRIMANDARI