TEMPO.CO, Banyuwangi – Peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, Hari Lelono, menyangkan Pemerintah Banyuwangi, Jawa Timur, membongkar bekas gedung societiet alias kamar bola peninggalan era kolonial Belanda. Bangunan bersejarah dari abad ke-18 itu akan diganti bangunan baru tiga lantai yang menelan anggaran Rp 5,5 miliar.
Hari Lelono menjelaskan, Balai Arkeologi Yogyakarta mengidentifikasi gedung societeit Banyuwangi sebagai bangunan bersejarah sejak 2014. “Saya terkejut, ketika datang ke Banyuwangi lagi pada akhir 2015, ternyata gedung tersebut sudah rata dengan tanah,” kata Hari kepada Tempo, Selasa, 12 Januari 2016.
Bagian depan gedung societeit, kata Hari, memang sudah diubah sehingga tak menampakkan ciri arsitektur aslinya. Akan tetapi, bagian dalam gedung tersebut masih orisinil. Gedung societeit memiliki desain khas, antara lain tembok tinggi, interiornya lebih indah, dan ruangannya tertutup agar suara musik memantul ke dalam. “Gedung ini menjadi gedung dansa atau pusat kesenian bagi orang-orang Belanda,” kata arkeolog ini.
Gedung societeit berada di Jalan Veteran, atau sebelah utara Lapangan Blambangan. Sejak abad ke-18, kata Hari, sekitar lapangan tersebut memang menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di dekat gedung societeit masih berdiri kantor pos, bekas kantor telegraf, bekas rumah dinas jaksa, dan bekas sekolah Belanda. “Jadi gedung societeit melengkapi fungsi tata ruang di masa lalu,” ujar Hari.
Menurut Hari, Pemerintah Banyuwangi belum menetapkan gedung societeit sebagai cagar budaya. Apabila telah ditetapkan, maka pembongkaran terhadap bangunan bersejarah bisa dijerat Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Masyarakat Banyuwangi juga dirugikan dengan pembongkaran gedung societeit ini karena kehilangan salah satu komponen sejarahnya.
Setelah Indonesia merdeka, gedung societeit mengalami pergantian fungsi. Menurut bekas pengurus Dewan Harian Cabang 1945, Aguk Wahyu Nuryadi, sekitar 1945 gedung ini menjadi markas Laskar Hizbullah. Kemudian pada 1960-1964, menjadi tempat perkuliahan Universitas Tawang Alun, yang menjadi cikal-bakal Universitas Jember saat ini.
Bangunan ini juga pernah menjadi markas TNI Angkatan Darat dan Gedung Nasional Indonesia (GNI) antara tahun 1965-1980-an. Bupati Banyuwangi Joko Supaat Slamet melakukan pemugaran pada gedung ini pada tahun 1982. Setelah pemugaran tersebut, gedung societeit hingga saat ini menjadi kantor Dewan Harian Cabang (DHC) 45.
Menurut Aguk, kondisi gedung DHC 45 sudah rusak dan bocor. Sejak tahun 2010, pengurus DHC 45 mengusulkan kepada Pemerintah Banyuwangi untuk merenovasi bagian yang rusak. Tapi usulan tersebut tidak pernah ditanggapi. Barulah pada 2015, Pemerintah Banyuwangi menyetujui untuk melakukan perbaikan. “Kami tidak tahu kalau bangunan akan dibongkar total,” kata dia.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga, Mujiono, mengatakan, pengurus DHC 45 tidak pernah memberikan informasi kalau gedung tersebut bernilai sejarah. “Kalau ada informasi sejak awal pasti kami akan menyesuaikan,” kata dia.
Pembangunan gedung DHC 45, kata Mujiono, dikerjakan dalam tiga tahun alias multiyears dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar Rp 5,5 miliar. Pembangunan tahap pertama dimulai akhir 2015 dengan anggaran Rp 2,2 miliar. Gedung tiga lantai ini nantinya terdiri dari aula untuk pentas seni dan perkantoran.
Menurut Mujiono, pihaknya masih menyimpan kayu-kayu dan keramik bekas gedung itu. Apabila dibutuhkan, kayu dan keramik akan dipasang kembali menyesuaikan arsitektur yang baru.
IKA NINGTYAS