TEMPO.CO, Yogyakarta - Organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang belakangan disebut-sebut menjadi biang hilangnya secara misterius sejumlah orang di Yogya diakui Pemerintah Kota Yogyakarta sering mengajukan permohonan bantuan dana sosial untuk kegiatannya.
“Sejak tahun 2011 memang organisasi itu sering mengajukan bantuan, namun tak pernah disetujui pemerintah dan DPRD karena bentuk kegiatannya tak jelas,” ujar kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Yogyakarta Sukamto kepada Tempo Selasa, 12 Januari 2016.
Sukamto enggan merinci berapa besaran dana bantuan sosial juga kenis kegiatan yang diajukan Gafatar itu. Namun menurut sejumlah anggota DPRD Kota Yogyakarta periode 2009-2014 yang kini menjabat lagi, kegiatan Gafatar lebih merujuk acara-acara keagamaan - kepemudaan.
Sukamto menuturkan, pemerintah kota pun tahun 2015 lalu menghentikan mengeluarkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) pada organisasi itu lantaran Kementerian Dalam Negeri menyatakan tidak mengakui kelembagaan organisasi itu secara nasional.
“SKT nya kami hentikan perpanjangannya sejak tahun lalu, jadi mereka tak mencoba lagi mengakses dana bantuan sosial,” ujarnya
Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta yang periode sebelumnya juga pernah menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Yogyakarta Agung Damar Kusumandaru mengatakan Gafatar DIY memang gigih untuk mencoba mengakses dana bantuan sosial melalui pemerintah kota meskipun sekretaritanya hanya di tingkat provinsi. Tahun 2014-2015 silam kelompok itu juga berupaya mengajukan dana bantuan untuk membiayai operasionalnya.
“Kami tak pernah setujui karena pengajuan bantuan kelompok itu tak pernah sesuai prosedur, juga tak memiliki legalitas jelas gerakannya,” ujar Agung.
Tidak sesuai prosedur yang dimaksud Agung, karena tiba-tiba saja badan anggaran DPRD mendapati nama kelompok itu di daftar calon penerima dana bantuan sebelum APBD disahkan.
Padahal dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran - Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) KUA-PPAS tidak pernah ada persetujuan pemberian dana kepada kelompok itu.
“Saat itu kelompok itu juga tak bisa menyertakan legalitas dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) kalau bergerak sebagai lembaga keagamaan, jadi tak memenuhi syarat apapun untuk menerima dana bantuan, akhirnya dicoret terus dari penerima bantuan,” ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Catatan Tempo, nama ormas Gafatar sendiri sempat ikut terselip menjadi peserta aksi ketika medio tahun 2013 lalu muncul gerakan bertajuk tolak premanisme di Yogya yang diinisiasi sejumlah organisasi masyarakat pasca tragedi penembakan sejumlah tahanan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Sleman oleh personel Komando Pasukan Khusus.
Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor DIY Ambar Anto mengakui kelompok Gafatar memang selama ini cenderung bergerak di bidang kepemudaan dibanding keagamaan.
“Tapi kami nggak tahu persisnya apa jenis kepemudaannya, hanya mengenal seragam para anggota dan satuan tugasnya,” ujar Ambar.
Ansor DIY mendesak pemerintah berani tegas menyisir dan membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menimbulkan keresahan tersebut.
“Segera dilakukan pelarangan dan pembubarannya agar tidak menular dan diikuti ormas lain,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO