TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang diduga berada di balik hilangnya dokter Rica Tri Handayani sempat dilarang di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada daerah yang sejak 2013 sudah melakukan pengawasan terhadap kegiatan Gafatar. Berikut daerah yang pernah melarang Gafatar.
Provinsi Sulawesi Tenggara, Februari 2015
Sepak terjang Gafatar juga dicurigai Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemerintah daerah menganggap Gafatar sudah menyebarkan ajaran yang menyimpang dari akidah Islam.
Penyimpangan Gafatar muncul setelah Kementerian Agama Sulawesi Tenggara melakukan kajian. Menurut mereka, penyimpangan Gafatar, antara lain mereka tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir, tidak wajib menunaikan ibadah haji, dan tidak wajib melaksanakan salat Jumat berjemaah di masjid.
"Kami pernah menggelar diskusi dan memang Gafatar tidak mengakui Nabi Muhamad sebagai nabi terakhir. Dia mengakui generasi setelah Nabi Muhamad itu adalah Ahmad Musadek, yang datang sebagai utusan Tuhan," kata Kepala Kantor Kementerian Agama Wilayah Sulawesi Tenggara Muhammad Ali Irfan kepada Tempo, 6 Februari 2015.
Aceh, Juni 2015
Enam pengurus Gafatar Aceh divonis masing-masing tiga dan empat tahun penjara. Mereka dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama oleh hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Mereka yang dijatuhkan vonis oleh hakim adalah Teuku Abdul Fatah (Ketua Dewan Pengurus Daerah Gafatar Aceh) yang mendapatkan vonis paling tinggi, empat tahun penjara.
Selanjutnya, lima orang lainnya dijatuhi tiga tahun penjara, yakni Muhammad Althaf Mauliyul Islam (Ketua Gafatar Kota Banda Aceh), Musliadi (Wakil Ketua Gafatar Aceh), Fuadi Mardhatillah (Kepala Bidang Informasi Gafatar Aceh), Ayu Ariestiana (pengurus Gafatar), dan Ridha Hidayat (pengurus Gafatar).
Awalnya para pengikut Gafatar ditangkap aparat kepolisian setelah kantor Gafatar digerebek massa di Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, pada Januari 2015.
Kupang, November 2014
Pemerintah daerah Kupang pernah menghentikan semua kegiatan Gafatar. Wali Kota Kupang Jonas Salean kepada Tempo pada 11 November 2014, mengaku Gafatar belum resmi terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Kupang, sehingga organisasi ini dilarang pemerintah pusat. "Aktivitasnya kami hentikan, karena organisasi tak berizin," katanya.
Gafatar di Kupang ditemukan beroperasi di dua lokasi di Kota Kupang, yakni Kelurahan Sikumana dan Bakunase. Wali Kota kemudian meminta camat dan lurah menginformasikan tentang organisasi itu ke warga. "Apa pun aktivitasnya, tapi jika tidak terdaftar tetap dilarang beroperasi," katanya.
Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), Januari 2013
Kepolisian Resor Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), pernah mengawasi Gafatar yang dicurigai menyebarkan ajaran-ajaran sesat kepada masyarakat.
Aktivitas Gafatar, menurut polisi, hendak menyatukan ajaran-ajaran agama yang ada di Indonesia. "Inilah yang menjadi pertanyaan, karena mereka mencampuradukkan ajaran agama dan negara," kata Kepala Kepolisian Resor Lembata Ajun Komisaris Besar Marthen Johanis kepada Tempo, 24 Januari 2013.
Jumlah pengikut Gafatar di Lewoleba, belum mencapai 50 orang, terdiri atas berbagai kelompok masyarakat di Lembata. Sementara, menurut Wakil Bupati Lembata Viktor Mado Wutun, di Nusa Tenggara Timur, Gafatar selalu berpindah-pindah ke sejumlah daerah di Pulau Flores, seperti Ende, Sikka, dan Flores Timur.
EVAN | PDAT | SUMBER DIOLAH TEMPO
Baca juga:
Setelah Ikut Gafatar, Kevin Tak Pernah Salat Lagi
Hilang 2,5 Bulan, PNS Anggota Gafatar Belum Diberhentikan