TEMPO.CO, Sidoarjo – Sebagian warga Sidoarjo yang menolak rencana pengeboran perusahaan minyak dan gas Lapindo Brantas Inc mengaku mendapat ancaman. Ketua RT 3 RW 2 Desa Kedungbanteng, M Fauzi, mengatakan bahwa ia mendapat intimidasi sejak sebelum Lapindo Brantas Inc melakukan pengerukan tanah sebagai persiapan pengeboran. Ancaman itu berupa peringatan untuk tidak melakukan aksi penolakan. Menurutnya, ancaman itu muncul dari aparat maupun pihak Lapindo.
“Kalau nanti warga yang bapak pimpin masih mengeluarkan aspirasi penolakan, warga bapak suruh pulang saja. Bila tidak, urusannya dengan aparat,” kata Fauzi menirukan ancaman baik dari aparat maupun pihak Lapindo, Jumat, 8 Januari 2016.
Intimidasi itu, menurut Fauzi, masih berlangsung hingga Rabu lalu. “Salah seorang aparat datang sendiri menemui saya,” ujar Fauzi yang mengaku sampai saat ini menolak pengeboran.
Meski menolak, Fauzi bersama warga RT 3, 4, dan 5 yang masuk wilayah terdampak menerima dana kompensasi pengerukan dari Lapindo Brantas sebesar Rp 10 juta. Kompenasasi itu diwujudkan dalam bentuk sembako: 10 kilogram beras dan 1,5 kilogram gula pasir. “Dana kompensasi itu mau diterima atau tidak, sama saja. Daripada tidak diterima, pengerukan tetap juga akan dilakukan karena mereka bilang itu aset negara. Buktinya ratusan aparat diterjunkan untuk mengamankan,” katanya.
Menurutnya, warga Kedungbanteng menolak rencana pengeboran itu karena trauma dengan kejadian semburan lumpur di Sumur Banjar Panji 1 di Porong. Apalagi, kata dia, sebelum kejadian di Porong, di sumur yang sudah beroperasi yang tak jauh dari lokasi pengeboran baru itu, pernah meledak. “Warga banyak yang sakit karena kaget.”
Alasan penolakan yang sama juga diutarakan Rofiah, 50 tahun, warga RT 3 RW 2 Kedungbanteng. “Karena trauma," katanya,” ujar Rofiah yang sudah tinggal di Kedungbanteng selama 37 tahun tersebut.
Penolakan bukan hanya dari warga Kedungbanteng. Warga Banjar Asri yang wilayahnya menjadi akses jalan ke lokasi pengeboran juga menolak. Meski menolak, mereka tidak secara terang-terangan melakukan penolakan. “Warga sama sekali tidak setuju. Termasuk saya,” ujar Yayak, 61 tahun, warga RT 4, RW 2, Banjar Asri.
Pernyataan berbeda muncul dari Kepala Kepolisian Resor Sidoarjo, M Anwar Nasir. Menurutnya warga sudah setuju. “Kami sudah lakukan sosialiadi Polres dan kami juga berulang kali bertemu warga dengan cangkruan. Beberapa hari sebelum pengerukan kedua wargadesa itu sudah menirama semua,” katanya. “Buktinya mereka mau menerima dana kompensasi pengerukan.”
Nasir membantah bahwa pihaknya ikut mengintimidasi warga. Saat ditanya mengenai pelibatan ratusan personel aparat untuk mengamankan lokasi pengerukan, Nasir berdalih itu sebagai antisipasi bila ada warga yang melakukan penghadangan. “Buat jaga-jaga. Itu aset negara yang harus diamankan," katanya.
Sementara itu Lapindo Brantas Inc belum bisa dikonfirmasi. Public RelationsManager Lapindo Brantas Inc, Arief Setyo Widodo, belum menjawab telpon Tempo.
NUR HADI