TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan beberapa permasalahan terkait perlindungan konsumen selama 2015. "Ada lima catatan kritis," kata Ketua YLKI, Tulus Abadi, di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Januari 2016.
Tulus mengatakan bahwa catatan pentiing yang pertama adalah soal energi. Ia mempermasalahkan soal harga bahan bakar minyak yang fluktuatif. "Ada plus minus. Indonesia impor minyak, mau tidak mau harganya bergantung pada minyak dunia," katanya.
Tulus menjelaskan, bahwa konsumen mengeluhkan harga BBM turun yang tidak diikuti dengan tarif transportasi. Sementara, terkait dana ketahanan energi (DKE), Tulus mengapresiasi langkah pemerintah yang menunda pemungutan dana tersebut. Sebab, menurutnya, dana tersebut adalah tanggung jawab pemerintah.
"Bisa diterapkan tapi di sektor hulu atau eksplorasi, tapi kalau pungut di konsumen tidak ada regulasi, dan itu menjadi double tax."
Soal tarif listrik, Tulus menyarankan agar pemerintah mereview golongan listrik 1300 VA. "Ada 20 sampai 30 persen yang tidak mampu," katanya. "Karena dulu pemerintah dan PLN menghalangi nambah daya dan mereka terpaksa pasang 1300."
Catatan berikutnya adalah soal transportasi. Tulus menganggap bahwa keselamatan penumpang masih sangat rendah, terutama dari sektor penerbangan. "Sektor penerbangan rating keselamatan masih 2 sejak 2007. Kalah dari malaysia, dengan 1. Itu dari ICAO," katanya.
Sementara, dari segi tarif transportasi, Tulus mengharapkan agar pemerintah membuat tarif batas atas dan bawah untuk mengantisipasi lonjakan harga BBM.
Catatan berikutnya mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Ia menganggap pelayanan BPJS masih buruk. "Nilai 7, pelanggan masih banyak ngeluh. Kami punya data. Ini karena regulasi dari Kementerian Kesehatan dan masalah ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya manusia."
Berikutnya, Tulus juga mempersoalkan masalah pangan. Ia menduga adanya monopoli dan oligopoli struktur pasar. Sebab, katanya, di saat harga BBM turun, harga pangan malah tidak ikut turun. Ia pun berharap agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Kementerian Perdagangan bisa membongkar dugaan tersebut.
FRISKI RIANA