TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso mengatakan sejak awal, ia yakin pimpinan kelompok bersenjata Nurdin bin Ismail alias Din Minimi bakal menyerah. Sebab, komunikasi yang terjalin antara Din dengannya berlangsung cukup baik dan intens, Jumat, 8 Januari 2016.
"Sebelum bertemu, saya intens teleponan sama Din selama 1,5 bulan," kata dia di rumah dinasnya, Jakarta Pusat, Senin lalu. "Makin intens menjelang pertemuan."
Dalam komunikasi tersebut, Sutiyoso tak melulu membahas soal rencana pertemuan dan negosiasi. Ia justru lebih sering menanyakan kabar Din. "Sudah makan apa belum, sehat nggak. Ya, kayak teman lama," ujarnya.
Meski demikian, saat pertemuan pada 28 Desember lalu, Sutiyoso masih merasa was-was. Musababnya, anggota Din terdiri dari 120 orang, sebanyak 40 di antaranya berperan sebagai intel. Apalagi, sebagian dari mereka memegang senjata.
"Medannya juga berat. Rasa khawatir pasti ada, tapi saya lebih besar yakinnya," kata mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu.
Sebagai persiapan perlindungan diri, Sutiyoso bersama ajudan dan pengawalnya juga memegang senjata. Ia dan ajudannya membawa pistol dan pengawalnya membawa senapan otomatis. Kondisi ini pun dikomunikasikan dengan Din sejak awal. Din pun tak mempermasalahkannya.
"Saya nggak mau mati konyol. Kalau pun nanti saya mati, harus tetap ada perlawanan," kata Sutiyoso.
Setelah bernegosiasi semalaman, Din akhirnya menanggalkan senjatanya pada pagi harinya. Din menyertakan enam tuntutan kepada Sutiyoso termasuk pemberian amnesti. "Lima tuntutan lainnya ringan dan mudah dipenuhi, yang amnesti sedang kami proses," tutur Sutiyoso.
Saat ini, Din berada di suatu tempat di Aceh. Sutiyoso pun masih kerap menelepon Din hanya untuk menanyai kabarnya.
DEWI SUCI RAHAYU