TEMPO.CO, YOGYAKARTA - Adik Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Anglingkusumo, KPH Wijayakusumo memberikan sinyalemen adanya rekonsiliasi dengan kubu Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Paku Alam X. Sinyalemen tersebut dikemukakan Wijayakusumo usai menghadiri prosesi jumenengan keponakannya, Paku Alam X tersebut. Sedangkan Anglingkusumo yang merupakan saudara tiri almarhum Paku Alam IX dan menobatkan diri sebagai KGPAA Paku Alam IX Al Haj tidak hadir.
“Pintu rekonsiliasi selalu dibuka. Hanya saja belum, bukan pakai kata tidak,” kata Wijayakusuma yang didampingi istrinya, Bendara Raden Ayu Wijayakusuma saat ditemui di Bangsal Sewatama Kadipaten Pakualaman Yogyakarta, Kamis, 7 Januari 2016.
Selain diundang, kedatangan Wijayakusuma dalam jumenengan tersebut karena ingin menghormati masyarakat yang turut serta merayakan peristiwa budaya yang langka tersebut. “Rumah saya di sini. Dan Mas Bimo (nama kecil Paku Alam X, Raden Mas Wijoseno Hario Bimo) itu keponakan saya,” kata Wijayakusuma.
Istrinya yang mantan anggota DPRD DIY Periode 2009-2014 menambahkan, setelah dinobatkan, Paku Alam X mempunyai tanggung jawab yang tak ringan. Apalagi keberadaan UU Keistimewaan DIY yang tidak hanya memposisikan Paku Alam yang bertahta sebagai Wakil Gubernur DIY. Melainkan juga mengatur status pertanahan kadipaten Pakualaman. Dia mencontohkan tanah Pakualaman yang saat ini dipergunakan untuk pembangunan calon bandar udara di Kulon Progo.
“Tanah Pakualaman itu nemu, warisan. Bukan milik pribadi. Jadi harus bisa dipertanggungjawabkan,” kata istri Wijayakusuma.
Sinyalemen rekonsiliasi tersebut berkebalikan dengan pernyataan menantu Anglingkusumo, KPH Wirayudha yang pada 6 Januari 2016 menyatakan menolak penobatan Paku Alam X. Bahkan dia bersama tim kuasa hukumnya akan mempidanakan dan mengajukan gugatan karena penobatan tersebut tidak memenuhi persyaratan. Paku Alam X yang lebih dulu lahir pada 15 Desember 1962 ketimbang pernikahan ayah ibunya pada 27 Februari 1963 atau lahir di luar ikatan pernikahan dinilai tidak sah sebagai Paku Alam yang bertahta. “Enggak ada Paku Alam X. yang ada Paku Alam IX Al Haj,” kata Wirayudha.
Sementara itu berkaitan dengan tradisi Pakualaman, dalam sabda dalem usai penobatan, Paku Alam X mengakui selama menjadi adipati akan berada dalam tegangan antara tradisi dan pembaruan, karena proses berkreasi menuntut inovasi. Dia pun akan menjadikan tradisi Kadipaten Pakualaman sebagai bagian tak terpisahkan dari Kasultanan Yogyakarta. “Akan saya jadikan tolok ukur untuk memahami perkembangan dan perubahan kebudayaan yang sangat cepat agar tak lepas dari akarnya,” kata Paku Alam X.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Dardias melihat Paku Alam X telah menyelaraskan tradisi dengan modernitas secara konkret. Contoh yang telah dilihat adalah upacara jumenengan yang berlangsung sederhana dan singkat, tanpa menghilangkan tradisinya.
“Akhirnya masyarakat dapat mengikuti prosesi dengan happy, tepat waktu, dan dapat intinya,” kata Bayu.
PITO AGUSTIN RUDIANA