TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia dianggap perlu terlibat dalam upaya mendinginkan hubungan antara Arab Saudi dan Iran. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir mengatakan Indonesia bisa berperan sebagai pihak yang menjembatani konflik di kawasan Timur Tengah itu. “Prinsipnya adalah peran politik bebas aktif,” kata Haedar saat dihubungi, Rabu, 6 Januari 2016.
Haedar melanjutkan, pemerintah bisa berperan proaktif mencari solusi masalah ini, bukan malah bersikap pasif. Bagi Haedar, Indonesia memiliki kekuatan moral politik yang besar. “Kita negara muslim terbesar di dunia,” katanya.
Ia merasa prinsip bebas aktif dalam pergaulan internasional Indonesia menjadikan Indonesia bersikap netral, yang tak memihak. “Enggak dicurigai oleh pihak-pihak yang berkonflik.”
Hubungan antara Iran dan Arab Saudi memburuk, menyusul hukuman mati terhadap Al-Nimr, Sabtu pekan lalu. Al-Nimr, ulama pengkritik keras kerajaan Saudi ini, bersama 46 terpidana lain, dihukum atas tuduhan terorisme. Nimr, 57 tahun, merupakan tokoh di balik gerakan protes antipemerintah Arab Saudi pada 2011.
Nimr dihukum bersama tiga aktivis Syiah serta puluhan aktivis Sunni yang dituduh terlibat dalam serangan Al-Qaeda. Eksekusi Nimr memicu demonstrasi di Iran, Irak, dan Bahrain, serta kalangan Syiah di provinsi timur Saudi yang kaya minyak.
Sekretaris Jenderal Nahdlatul Ulama Helmy Faisal sependapat dengan Haedar. Posisi Indonesia sebagai juru runding konflik bisa meredam konflik antara penganut Sunni dan Syiah. “Potensinya besar untuk terjadi. Karena itu harus jadi mediator.”
Helmy mengatakan konflik antara Arab Saudi dan Iran dicitrakan oleh berbagai pihak sebagai konflik Sunni dan Syiah. Penyelesaian konflik ini harus cepat agar tak merembet ke Indonesia. “PBNU siap jadi juru runding,” tuturnya.
Haedar Nasir tak sependapat dengan desakan agar pemerintah memutus hubungan diplomatik dengan Arab Saudi. Haedar menganggap usulan tersebut tergesa-gesa dan lebih banyak menimbulkan kerugian. Baginya, ada peluang untuk memainkan peran mengedepankan perdamaian. “Belum berbuat banyak, kok sudah minta putuskan hubungan diplomatik.”
Helmy Faisal bahkan menganggap pemutusan hubungan diplomatik sebagai tindakan yang merugikan dan sangat keliru. Terlebih, kerugian itu tidak hanya dialami oleh Indonesia, tapi dunia Islam.
DIKO OKTARA