TEMPO.CO, Jakarta - Nahas menerpa Monumen Dirgantara di Pancoran, yang dikenal juga sebagai Tugu Pancoran. Monumen itu dibangun Edhi Sunarso pada 1970, saat kekuasaan Soekarno sudah lemah. Patung itu hampir tak jadi kalau saja Soekarno, yang sedang sakit-sakitan, tidak turun tangan dan menjual mobilnya untuk membiayai penyelesaian patung.
Edhi akhirnya merampungkan patung itu di Yogyakarta dan membawa 90 potong perunggu yang diangkut 16 truk ke Jakarta. Monumen itu semula tegak di tengah lingkaran luas mirip Bundaran Hotel Indonesia. Semua arus kendaraan berputar mengelilinginya.
Entah bagaimana kejadiannya, pemerintah lalu membangun jembatan layang yang mencekik patung itu, yang jelas-jelas mengabaikan rancangan awalnya. “Saya kecewa, tapi itu kan karena penguasa,” kata Edhi.
Pernyataan Edhi Sunarso ini dikutip dari Majalah Tempo edisi 6 September 2010 lalu, yang menulis tentang Edhi Sunarso dan karya-karyanya. Edhi Sunarso wafat Senin, 4 Januari 2016, pukul 22.53. Jenazah dikuburkan di permakaman seniman di Imogiri, Yogyakarta, Selasa, 5 Januari 2016.
Pemerintah DKI Jakarta dan Presiden Megawati Soekarnoputri pernah menanyakan kemungkinan pemindahan patung itu kepada Edhi. Sang seniman mengaku tak berani memindahkannya karena terlalu berisiko. Tapi, “Kalau mau dipindahkan, tempatnya di Cengkareng karena Cengkareng itu ide murni Bung Karno,” kata Edhi.
Edhi membangun tiga monumen penting di Jakarta, yakni Selamat Datang, Dirgantara di perempatan Pancoran, dan Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Keberhasilan eksperimen Selamat Datang memudahkannya dalam membangun dua monumen lain dengan teknik yang sama. “Semua monumen itu digagas Soekarno, tapi dia menyerahkan pelaksanaannya sepenuhnya kepada saya,” kata Edhi.
Monumen-monumen itu sudah menjadi landmark Kota Jakarta. Ia menyimpan sejarah bangsa ini sekaligus sejarah seni patung Indonesia. Tapi kota ini telah mengabaikannya.
KURNIAWAN, SUNUDYANTORO