TEMPO.CO, Jakarta - Kurator independen Jim Supangkat menilai Edhi Sunarso sebagai pematung pertama di Indonesia. ”Affandi memang pernah melakukannya tapi kemudian meninggalkannya. Yang bertahan terus menjadi pematung adalah Edhi, dan dia pula yang membuat berbagai monumen, terutama yang di Jakarta,” kata Jim.
Pernyataan Jim ini pernah dimuat Majalah Tempo edisi 6 September 2010 lalu yang menulis tentang Edhi Sunarso dan karya-karyanya. Edhi Sunarso wafat Senin 4 Januari 2016 pada pukul 22.53. Jenazah dikuburkan di permakaman seniman di Imogiri, Yogyakarta.
Edhi membangun tiga monumen penting di Jakarta, yakni Selamat Datang, Dirgantara di perempatan Pancoran, dan Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Keberhasilan eksperimen Selamat Datang memudahkannya dalam membangun dua monumen lain dengan teknik yang sama. ”Semua monumen itu digagas Soekarno, tapi dia menyerahkan pelaksanaannya sepenuhnya kepada saya,” kata Edhi.
Dia tampaknya berusaha memahami gagasan Soekarno sekaligus mengembangkan kreativitasnya sendiri. Bagi Edhi, monumen-monumen itu merupakan lambang yang ingin ditegakkan Soekarno untuk menandai tonggak sejarah tertentu dalam perkembangan kemerdekaan. Monumen itu melambangkan jiwa bangsa Indonesia, yang emosinya ditunjukkan Edhi dalam bentuk guratan otot tebal dan kasar serta raut wajah yang ekspresif. Patung figuratif Edhi memang banyak yang menonjolkan otot dan postur tubuh yang besar. ”Itu di sengaja untuk mengejar dinamika, jadi dilebih-lebihkan,” katanya.
Soalnya kini, tiga monumen Edhi yang termasyhur itu terisap perkembangan Jakarta, yang abai terhadap rancangan kotanya. Monumen Selamat Datang dulunya dirancang sebagai gerbang masuk ke pusat kota dan menyapa para pendatang dari arah utara, yakni Bandar Udara Kemayoran dan Pela buhan Tanjung Priok. Tapi kini bandar udara sipil sudah pindah ke Cengkareng dan konsep itu tak lagi relevan.
Dulu patung itu meraja ditempatnya karena paling menonjol di area yang terbuka lebar dan bahkan sebagian kosong, tapi kini ia tenggelam di tengah kepungan bangunan pencakar langit yang mengelilinginya. Jim menyarankan agar pedestal patung itu diturunkan, sehingga dia punya ruang lebih sempit, tapi berkuasa penuh di lingkaran kecilnya.
Menurut Edhi, dengan mempertimbangkan perkembangan kota, pedestalnya bisa saja diturunkan jadi 8 meter atau separuh dari tingginya sekarang yang 20 meter. ”Tapi, kalau diturun kan, apakah nanti tetap akan kelihatan dari Air Mancur di dekat Monas? Menurut rancangan Bung Karno, kan harus kelihatan dari Air Mancur,” katanya.
Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, yang dulu berada di kawasan lapang dan bisa terlihat dari jauh, kini seakan terabaikan dan kesepian. Tapi Edhi mengkhawa tirkan daya tahan fondasinya. ”Semula Pak Sutami yang merancang fondasinya. Tapi sewaktu pemasangan diambil alih insinyur-insinyur muda dengan konstruksi besi semua. Kalau saya kan langsung dicor,” katanya.
KURNIAWAN, SUNUDYANTORO