TEMPO.CO, Jakarta - Edhi Sunarso adalah seniman berdarah pejuang. Di usia remaja, dia telah bergabung dalam Resimen V Siliwangi dan menjadi kurir pengantar senjata serta terlibat dalam operasi militer melawan Belanda di Tlatah Pasundan. Pada 1946, dia ditangkap tentara Kerajaan Belanda (KNIL) dan divonis 7 tahun penjara serta disekap di beberapa sel di Jawa Barat. Sebagai tahanan termuda, dia sudah menanggung berbagai siksaan dari tentara Belanda dan pelecehan seksual dari tahanan lain.
Pematung Edhi Sunarso wafat pada Senin, 4 Januari 2016, pukul 22.53 di Yogyakarta. Jenazah dikuburkan di permakaman seniman di Imogiri, Yogyakarta, Selasa siang, 5 Januari 2016.
Edhi cuma belajar sampai kelas lima sekolah rakyat. Tapi dia memperoleh berbagai mata pelajaran dari tahanan lain saat mendekam di tahanan militer Belanda di Kebonwaru, Bandung. Di situ pula dia mulai belajar menggambar dan membuat sketsa para tahanan. Utusan Negara Pasundan menjenguknya, kemudian Edhi mendapat pengampunan dan dibebaskan pada 1949.
Pria bertubuh pendek itu lalu berjalan kaki selama 18 hari menyusuri rel kereta api hingga Jawa Tengah. Dia bermaksud ke Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu. Tapi, karena medan yang berbahaya, dia berhenti di Boyolali dan bergabung dengan pasukan pimpinan Slamet Riyadi, yang belakangan diangkat sebagai pahlawan nasional di, Semarang Selatan.
Setelah aksi militer Belanda selesai dan ibu kota kembali ke Jakarta, Edhi memutuskan tinggal di Yogyakarta. Ketika melihat para mahasiswa ASRI berlatih membuat sketsa di pojok Pasar Beringhardjo, kegemarannya menggambar bangkit dan ia pun bergabung. Kehadirannya menarik perhatian Hendra Gunawan, pelukis dan guru para mahasiswa itu. Hendra memuji gambar Edhi, yang dinilai lebih bagus daripada lukisan mahasiswa yang sudah 6 bulan belajar.
Edhi pun diajak Hendra menjadi mahasiswa pendengar, yang boleh ikut praktek, tapi tidak belajar teori. Namun diam-diam Edhi mendalami teori seni dengan menyalin catatan kuliah mahasiswa lain. Berkat bantuan Hendra dan pelukis Affandi, ia akhirnya diterima sebagai mahasiswa penuh dan lulus sebagai sarjana terbaik 3 tahun kemudian. Kebersenian Edhi makin terasah setelah dia bergabung dengan sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra, yang beranggota Trubus, Affandi, C.Y. Ali, Sucahyoso, Abbas Alibasyah, dan Rustamadji. ”Mereka banyak mengajari saya karena saya anggota termuda,” kata Edhi.
Sanggar, yang cenderung berpaham realisme sosial, itu kemudian bereksperimen membuat patung dari batu vulkanik dengan teknik yang sangat sederhana setelah belajar dari pemahat batu nisan di lereng Gunung Merapi. Hasilnya, termasuk Kelaparan karya Edhi, dideretkan di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Jalan Malioboro dan menjadi pameran patung modern pertama dan terlama di Indonesia karena masih ada hingga kini.
”Kehadiran patung-patung seniman Pelukis Rakyat bisa diklaim sebagai yang pertama sejak Candi Prambanan,” tulis Agus Dermawan T., penulis sejumlah buku seni rupa, dalam artikelnya di buku Edhi Sunarso: Seniman Pejuang, yang disunting Mike Susanto dan diluncurkan di Salihara.
Kegiatan mematung di sanggar itu tampaknya makin mematangkan pilihan Edhi untuk berada di jalur seni patung. Sejak di sana pula dia banyak menghasilkan karya patung yang meraih penghargaan. Karyanya, The Unknown Political Prisoner, misalnya, meraih gelar juara kedua dalam lomba patung internasional di London, Inggris, pada 1953. Pada tahun itu pula Edhi mendapat pengalaman pertama membangun monumen saat ikut bersama Pelukis Rakyat membangun Tugu Muda di Semarang.
Edhi kemudian mendapat beasiswa dari UNESCO untuk belajar di Universitas Visva Bharati Rabindranath Tagore, Shantiniketan, India. Selama 1955-1957, dia dibimbing Profesor Gupta dan Ram Kinker Bay, pematung modern yang tampaknya cukup berpengaruh terhadap Edhi.
Di sana dia mengikutsertakan patung kayunya, Nude, dalam lomba seni rupa se-India dan mendapat medali emas sebagai karya terbaik. Pulang ke Tanah Air, dia mengajar di ASRI dan bersama Hendrodjasmoro mendirikan jurusan seni patung di kampus itu. Ia mengajar mahasiswa pascasarjana di kampus, yang kini menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.
KURNIAWAN, SUNUDYANTORO