TEMPO.CO, Yogyakarta - Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti membongkar paksa tembok perumahan elite Green House karena menghalangi ratusan siswa Madrasah Tsanawiyah Muhammadyah Karangkajen Yogyakarta bersekolah di hari perdananya, Senin subuh 4 Januari 2016.
Walikota menyatakan pembongkaran itu sebagai solusi darurat demi melindungi kepentingan belajar anak-anak di tengah kecamuk rebutan lahan akses jalan pihak sekolah dan warga perumahan yang tak kunjung tuntas. "Apalagi perumahan itu setelah selesai belum ada penyerahan dari pihak pengembang ke pemerintah," ujar Haryadi kepada Tempo usai pembongkaran paksa.
Meskipun secara aturan yang tertuang dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri nomor 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan Pemukiman di Daerah memungkinkan pengambilan paksa aset lahan jalan sebagai fasilitas umum dari perumahan itu.
"Wajib diingat, warga perumahan hanya memiliki hak atas sertifikat tanah rumahnya, bukan jalannya, itu bisa di berkas acarakan pemerintah untuk diambilalih namun kami tak lakukan demia kebaikan bersama," ujar Tyas.
Aturan pengambilalihan fasilitas umum perumahan itu tertuang dalam pasal 21 Peraturan Kementerian Dalam Negeri. Pihak pengembang perumahan setelah menyelesaikan proyek perumahan dan memecah sertifikat hak milik kepada warga wajin melakukan pemeliharaan. Jika tidak ada pemeliharaan dari pengembang atau ditelantarkan maka pemerintah bisa mengambil alih sebagai fasilitas umum.
"Jika jadi fasilitas umum yang dikelola pemerintah, siapa saja boleh mengaksesnya, tak hanya warga perumahan," ujar Tyas.
Pemerintah Kota Yogyakarta tahun 2013 silam pernah mengultimatum pihak perumahan dengan mengeluarkan Surat Peringatan pertama pembongkaran tembok pembatas perumahan dan sekolah itu karena akan menghalangi akses siswa jika sekolah sudah selesai dibangun. "Tapi surat perintah itu lalu tak berlanjut karena warga dan sekolah mediasi lagi," ujarnya.
Seorang warga perumahan Green House yang rumahnya langsung menghadap sekolah itu, Joko, menuturkan pihak warga perumahan sebenarnya sudah mau patungan untuk membelikan sekolah lahan sebagai akses jalan asal tak melewati perumahan.
"Dulu tiap warga sudah mau patungan satu orang Rp 800-900 ribu untuk belikan lahan bagi sekolah, tapi sekolah membatalkan lagi," ujarnya. Saat iti dari 150 warga perumahan mau patungan untuk membeli lahan di belakang sekolah seluas 4 x 10 meter yang selama ini jadi jalur tikus siswa untuk masuk sekolah.
Warga pun menduga pihak sekolah menolak dibelikan lahan sebagai akses masuk karena dengan menumpang lewat di depan perumahan Green House, promosi sekolahnya menarik siswa jadi lebih punya daya jual.
PRIBADI WICAKSONO