TEMPO.CO, Wamena - Terminal angkutan umum antarkota di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, amat tidak layak untuk ukuran ibu kota kabupaten. Selain fasilitas umum yang tidak tersedia, terminal ini dikendalikan para preman yang menentukan tarif angkutan dengan semena-mena.
Tempo yang mengunjungi terminal ini pada pertengahan Desember 2015 menyaksikan sendiri bagaimana liarnya kondisi terminal Wamena. Padahal, di terminal ini, ada taksi strada yang merupakan alternatif warga untuk bepergian ke Distrik Karubaga di Kabupaten Tolikara.
SIMAK: Menyusuri Papua, Dari Teror Intel sampai Warung Mahal
Terminal Wamena ini hanya berupa tanah kosong sekitar 1.000 meter persegi, berbentuk kotak, di sela-sela gedung-gedung di Wamena. Di atas tanah kosong itu, diparkir sejumlah mobil pikap dengan four wheels drive dan bak terbuka. Semua sedang menunggu penumpang yang akan bepergian ke luar Kota Wamena.
Di sana, sama sekali tidak ada papan petunjuk mengenai cara pembelian tiket dan harga tiket angkutan umum. "Tidak ada loket tiket, Ibu langsung tanya ke sopir taksi, hati-hati ya," ujar seorang warga ketika ditanya. Alhasil, harga tiket bisa berubah setiap saat. Jangan tanya soal jadwal keberangkatan maupun kedatangan. Semua suka-suka sopir dan preman di sana saja.
Kala hujan turun, tak ada sama sekali tempat berteduh untuk penumpang. Calon penumpang yang butuh toilet harus pergi ke kantor cabang bank BRI, tak jauh dari terminal. Staf BRI sepertinya sudah terbiasa dengan penumpang yang minta izin menggunakan toilet yang berada di bagian belakang kantor mereka. Selain itu, status hukum dan kepemilikan lahan terminal ini juga ditengarai ilegal.
SIMAK:
Nilai Uang di Papua, Seribu di Jakarta Setara Sepuluh Ribu
Jangan Kaget, di Papua Harga Sepiring Nasi Pecel Rp 70 Ribu
Pemerintah lokal dan aparatur keamanan tampaknya tutup mata melihat kondisi terminal liar ini. Sejumlah warga menilai pemerintah dan polisi bersikap demikian karena penegakan hukum di sana bisa memicu masalah lebih besar. “Sopir di sini mayoritas non-Papua,” kata seorang penumpang kepada Tempo. Adapun hampir semua preman adalah penduduk asli. Menertibkan terminal ini salah-salah memicu bentrok bernuansa konflik suku.
Para sopir tidak bisa berbuat banyak menghadapi pungutan liar di terminal karena rata-rata mereka juga bukan pemilik kendaraan. Mereka menyewanya dari warga Wamena atau Tolikara. Preman-preman itu menarik Rp 100 ribu dari setiap penumpang yang duduk di bagian dalam mobil dan Rp 50 ribu untuk setiap penumpang yang duduk di bak terbuka. “Mereka bisa dapat Rp 1 juta dari satu taksi,” tutur seorang penumpang sambil mengunyah pinang.
MARIA RITA
Video Terkait: