TEMPO.CO, Wamena - Pertengahan Desember 2015 lalu, wartawan Tempo, Maria Rita Hasugian, berkunjung ke Provinsi Papua untuk sebuah perjalanan liputan khusus. Di sana, dia meliput pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Wamena, Kabupatan Jayawijaya, mengunjungi Kabupaten Tolikara pascakonflik antarumat beragama yang menghebohkan Tanah Air Agustus 2015 lalu, dan mencoba memahami ketegangan politik terkini di Kota Jayapura.
Selama lebih dari dua pekan menyusuri Papua, Maria mengumpulkan kisah-kisah autentik dari orang-orang yang dia temui tentang masa silam, masa sekarang, dan masa depan wilayah itu. Dia mencoba memetakan apa saja masalah yang kerap dikeluhkan warga dan mengukur sejauh mana efektivitas pemerintahan berjalan di sana.
Dalam laporan khusus ini, Tempo berusaha berada di tengah, tidak memihak kubu-kubu yang tengah bertikai di Papua. Untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat dan faktual mengenai kondisi sebenarnya di Papua, Maria juga mewawancarai sebagian besar pemangku kepentingan, baik dari unsur pemerintah, organisasi nonpemerintah, masyarakat sipil, aparatur keamanan, maupun warga biasa.
Meliput di Papua tentu penuh dinamika. Ketika sedang berada di Wamena, Maria mendapat kejutan ketika Kantor Yayasan Teratai Hati Papua, yang menjadi lokasi konferensi pers dari Tim Peduli Hak Asasi Manusia Pegunungan Tengah Papua, didatangi dua pria yang mengaku petugas intelijen Polres Jayawijaya setempat.
Mereka mengaku mendapat informasi kalau ada jurnalis dari luar Papua yang datang ke wilayah tanpa melapor terlebih dulu. “Saya sempat kaget dan ingin menemui mereka, tapi tuan rumah pertemuan itu melarang,” kata Maria. Walhasil, sampai kini, tak jelas benar siapa dan dari mana dua pria itu.
Lewat insiden kecil itu, Maria jadi saksi besarnya kecurigaan antara para aktivis masyarakat sipil dan penegak hukum di Papua. Dia kemudian mewawancarai banyak pihak untuk menelusuri apa yang menjadi dasar ketegangan politik di sana.
Hal lain yang juga mewarnai dinamika liputan ini adalah harga segala bahan pokok di Papua yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Maria, yang besar di Medan, Sumatera Utara, sebelum pindah ke Jakarta, kerap harus memeriksa dua kali harga sepiring nasi sebelum memutuskan makan apa. “Di Tolikara, saya makan di Warung Yogya di mana harga sepiring nasi dengan ikan mujair goreng sampai Rp 70 ribu,” kata Maria dengan nada heran.
Dia kemudian melacak bagaimana harga-harga bisa begitu tinggi. Salah satu temuannya adalah keterkaitan antara mahalnya harga dan pola transportasi di pedalaman Papua. “Sebagian besar bahan kebutuhan pokok diangkut dengan pesawat,” katanya. Karena sulitnya transportasi, harga bensin di Wamena bisa sampai Rp 40 ribu seliter.
Melihat Maria kaget dengan harga-harga di sana, seorang penjaga warung di Karubaga, Tolikara, memberi tips mudah mengukur nilai rupiah di pedalaman Papua. "Mbak, Rp 10.000 di Jakarta itu nilainya sama dengan Rp 1.000 saja di Wamena dan Pegunungan Tengah,” ujarnya tersenyum. Tak heran kalau uang koin Rp 500 maupun Rp 1.000 tak ada nilainya di sana.
WAHYU DHYATMIKA
Bazoka Logo: Kami Melawan Sistem Negara Ini oleh tempovideochannel