TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyatakan ada delapan perkara menonjol yang ditangani selama 2015. Didampingi pejabat eselon 1 Kejaksaan, dia berjanji pada 2016 ini akan menuntaskan delapan perkara tersebut. "Semua diprioritaskan. Dengan adanya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, perlawanan ini akan semakin gencar," kata Prasetyo, Rabu, 30 Desember 2015.
Meski demikian, dia menyatakan tak pernah takut para tersangka mengajukan praperadilan. Sebab, Prasetyo berkeyakinan prosedur penetapan tersangka yang dilakukan timnya sudah benar dan sesuai aturan hukum.
Berikut delapan kasus prioritas yang ditangani Kejaksaan Agung:
1. Perkara dugaan korupsi pembangunan Gardu Induk unit pembangkit wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara PT PLN.
Kasus dengan total anggaran sebesar Rp 1,063 triliun ini ditangani Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kejaksaan menetapkan 15 tersangka termasuk mantan Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan. Namun, Dahlan menggugat penetapannya sebagai tersangka di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan pun mengabulkan gugatan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara itu sehingga status tersangkanya gugur.
Menurut Prasetyo, sembilan tersangka di antaranya telah divonis bersalah dan putusannya sudah berkekuatan hukum tetap. "Yang lain menyusul. Kekalahan di praperadilan tidak menghentikan penanganan perkara itu," kata dia.
2. Kasus dugaan korupsi pengadaan mobil listrik.
Kejaksaan Agung telah menetapkan Direktur Utama PT Sarimas Ahmadi Pratama, Dasep Ahmadi, sebagai tersangka. Kasusnya kini sedang bergulir di persidangan. Dasep didakwa korupsi secara bersama-sama dengan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Dasep didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain terkait pengembangan mobil listrik nasional dalam bentuk pembuatan purwarupa electric bus dan executive electric car untuk kegiatan Asia-Pasific Economic Coorperation (APEC) XXI tahun 2013.
Prasetyo menegaskan mobil listrik yang diminta Dahlan terhadap Dasep itu bukan untuk keperluan riset, tapi pengadaan barang. Dahlan memerintahkan tiga BUMN yakni Bank BRI, PT Gas Negara (Persero), dan PT Pertamina (Persero) mengucurkan duit Corporate Social Responsibility untuk membiayai pembuatan mobil listrk itu. Menurut Prasetyo, ada kerugian negara hampir Rp 32 miliar. "Kalau dibiarkan, sama saja kita membiarkan kejahatan berlalu di depan mata. Kami harap kasus ini segara putus," kata mantan politikus NasDem itu. Setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap, Kejaksaan berjanji mengembangkan ke pelaku lain.
3. Penjualan aset Badan Usaha Milik Daerah Jawa Timur, PT Panca Wira Usaha.
Kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ini juga terancam melilit Dahlan Iskan. Dari hasil penyelidikan Kejati, Dahlan selaku Direktur Utama diduga banyak menerobos aturan terkait pengelolaan aset PT Panca Wira Usaha.
Aturan pengelolaan yang tidak dipedulikan Dahlan yang saat itu menjabat sebagai direktur utama antara lain penjualan aset tanpa lelang. Jika pun ada lelang, diduga masih ada prosedur yang dilanggar Dahlan sehingga nilai aset yang dilepas di bawah harga normal. Selain itu, ada juga aset yang disewakan tapi uang hasil sewanya tidak semua disetorkan kepada kas Pemerintah Provinsi. "Penjualan aset di Jatim ini Jamintel bisa menindaklanjuti," kata Prasetyo.
4. Kasus dugaan pidana penyalahgunaan hak tagih dan pengalihan yang dilakukan Victoria Securities.
Prasetyo mengaku calon tersangka kasus Victoria ini sulit disentuh. "Ini agak pelik. Calon tersangka untouchable. Sulit disentuh," kata dia. Soalnya, Kejaksaan beberapa kali memanggil pejabat Victoria Securities namun selalu mangkir.
Kasus ini bermula ketika PT Adistra Utama meminjam Rp 469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare pada akhir 1990. Pemerintah lantas memasukkan BTN ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk diselamatkan saat krisis 1998. Sejumlah kredit macet dilelang, termasuk utang PT Adistra. Kemudian, Victoria Securities membeli aset itu dengan harga Rp 26 miliar.
Beberapa tahun kemudian, Adistra bermaksud menebus asetnya dengan harga sama. Namun, Victoria justru menawarkan harga lebih tinggi yakni Rp 2,1 triliun. Walhasil, Adistra melaporkan Victoria atas tuduhan permainan penentuan nilai aset.
Kejaksaan pun telah menggeledah kantor Victoria di Senayan sebanyak dua kali. Tak terima kantornya digeledah, Direktur Victoria Yangky Halim mengadukan tindakan Kejaksaan Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat serta menggugat lewat praperadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan prosedur Kejaksaan saat menggeledah Victoria tidak benar sehingga barang yang disita harus dikembalikan.
Selanjutnya >> Kasus nomor 5 hingga 8