TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan massa dari Gerakan Penyelamat Demokrasi mendesak kepolisian segera membebaskan tersangka Yulianus Paonganan, pemilik akun Twitter @ypaonganan.
"Kalau ingin menegakkan undang-undang pornografi masih ada banyak pelaku yang lain," kata Koordinator Gerakan Penyelamat Demokrasi Asep Irama di depan Mabes Polri, Senin, 21 Desember 2015.
Menurut Asep, seharusnya polisi menegakkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tanpa pandang bulu. Sebab, banyak akun di media sosial yang mem-posting gambar atau pernyataan yang jauh lebih vulgar dibandingkan Paonganan. Bahkan, dia menilai banyak situs porno yang dibiarkan beredar oleh polisi.
Mereka juga menilai jeratan hukum itu sangat dipaksakan. Kalimat yang dilontarkan Paonganan, seperti "PapaDoyanLo***" dianggap hanya semacam kritik. "Ini adalah bentuk pembungkaman ekspresi," ucap Asep.
Paonganan ditangkap oleh Badan Reserse Kriminal Mabes Polri karena diduga menyebarkan kalimat pornografi melalui akun Twitter-nya. Pria 45 tahun itu dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Pornografi. Tersangka Paonganan terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Asep menuding jeratan hukum terhadap Paonganan akibat dianggap menghina Presiden Joko Widodo. Paonganan mengunggah gambar Presiden Jokowi bersandingan dengan artis Nikita Mirzani dengan keterangan foto sebanyak 200 kali. "Kata polisi, Presiden yang meminta menjerat Paonganan," kata Asep.
Aksi berlangsung sangat singkat. Mereka mengaku akan meneruskan aksinya di Istana Negara pada Rabu, 22 Desember 2015. Pengunjuk rasa mengatakan tak meminta izin unjuk rasa dengan alasan prosedur yang berbelit.
Pada waktu yang bersamaan dengan unjuk rasa Gerakan Penyelamat, sejumlah orang yang mengaku menjadi korban Paonganan juga berdatangan ke Bareskrim untuk melaporkan kicauan Paonganan di Twitter. "Dia juga mem-posting status berbau SARA dan rasis," kata Horas, salah satu pelapor.
AVIT HIDAYAT