TEMPO.CO, Surabaya - Jenazah Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson terbaring di dalam peti yang sampai hari ini, Rabu, 16 Desember 2015, masih berada di Ruang 8 Rumah Persemayaman Adi Jasa Surabaya. Jenazah yang telah diformalin itu mengenakan baju batik khas Madura. “Batik khas Madura itu kesukaan Om Ben,” kata Edu Manik, salah satu kolega Ben Anderson di Indonesia.
Edu mengatakan Ben Anderson hanya membawa baju-baju jenis kaus saat datang ke Indonesia. Padahal, untuk upacara kremasi, panitia menyarankan agar jenazah Ben berpakaian kemeja rapi saat berada di peti. Dengan kondisi terdesak, Sugito, sopir yang menemani Ben berkeliling ketika di Indonesia, mengusulkan menggunakan batik khas Madura miliknya yang belum sempat ia pakai. “Kebetulan kok dipakai batiknya cukup dan itu kesukaan beliau,” ujarnya.
Di mata Edu, Ben adalah sosok ilmuwan yang sederhana. Jenazahnya yang mengenakan batik khas Madura tersebut merefleksikan kesederhanaan Ben ketika masih hidup.
Ben Anderson datang ke Indonesia untuk mengisi kuliah umum bertema "Anarkisme dan Nasionalisme" di Universitas Indonesia, Depok, pada Kamis, 10 Desember 2015. Dalam kuliah umum tersebut, Ben menguraikan sejarah anarkisme di dunia sejak masa Revolusi Prancis.
Benedict Richard O'Gorman Anderson, 79 tahun, meninggal dalam tidurnya di sebuah hotel di Kota Batu, Jawa Timur, pada Minggu, 13 Desember 2015. Saat itu dia sedang dalam perjalanan setelah memenuhi undangan memberi kuliah umum di kampus Universitas Indonesia beberapa hari sebelumnya.
Ben lahir di Cina dan sempat dicekal pada masa pemerintahan Orde Baru akibat buku yang ditulisnya bersama Ruth McVey yang kemudian dikenal sebagai The Cornell Paper pada 1966. Seumur hidupnya, Ben telah menulis lebih dari 400 publikasi yang telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa.
Bukunya juga banyak membahas soal perkembangan politik di Indonesia. Sebut saja Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation: 1944-1945; Mythology and the Tolerance of the Javanese; dan Violence and the State in Suharto's Indonesia.
SITI JIHAN SYAHFAUZIAH