TEMPO.CO, Padang - Guru besar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai belum ada langkah nyata Presiden Joko Widodo dalam penyelamatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sedang diterpa gelombang dahsyat. Padahal Jokowi berjanji kepada warga negara untuk memprioritaskan pemberantasan korupsi dengan memperkuat KPK, yang tercantum dalam Nawa Cita, Rabu, 16 Desember 2015.
Saldi meminta Presiden Jokowi membaca kembali Nawa Cita tentang penegakan hukum huruf h, yang secara eksplisit menyatakan berkomitmen menolak segala bentuk pelemahan KPK. Komitmen ini muncul karena Jokowi menyadari KPK merupakan tumpuan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Semestinya Jokowi sadar, bila revisi terjadi, pelemahan KPK tidak bisa dihindari. "Dorongan agar menghentikan atau paling tidak menunda revisi UU KPK hanya demi memenuhi janji Bapak dalam Nawa Cita," ujarnya dalam surat terbuka untuk Presiden Jokowi yang diterima Tempo.
Ia mengaku senang ketika Presiden Jokowi murka terhadap pejabat tinggi negara yang terindikasi mencatut nama presiden dan wakil presiden dalam proses perpanjangan kontrak Freeport. Jokowi menunjukkan bagaimana semestinya seorang presiden bersikap di tengah “sandiwara” sebagian anggota Badan Kehormatan DPR yang berupaya melindungi sang petinggi negara. Kemurkaan ini dinilai sebagai bentuk kemarahan yang konstitusional.
Seharusnya, dengan membaca komitmen sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita tersebut, Presiden Jokowi harus menunjukkan sikap serupa dalam tragedi yang menimpa KPK. "Namun, entah apa yang terjadi, kami tidak melihat langkah darurat dan langkah nyata penyelamatan yang berpihak kepada KPK. Bagi kami, menyelamatkan KPK merupakan bentuk nyata menyelamatkan masa depan agenda pemberantasan korupsi," tuturnya.
Kata Saldi, sejak 2003, KPK menjadi lokomotif agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, saat ini, KPK diterpa gelombang besar. Buktinya, pada awal 2015, dua pemimpin KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, dijadikan tersangka. Kemudian, seorang penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga mendapat perlakuan serupa.
Padahal banyak kalangan menilai bahwa mereka dikriminalisasi. Namun Jokowi tidak menunjukkan sikap tegas melindungi KPK dan orang-orang yang telah mewakafkan diri mereka untuk mewujudkan gagasan besar mengurangi laju praktek korupsi di Indonesia. Saldi mengatakan, di tengah situasi darurat yang melanda KPK, Jokowi diharapkan menunjukkan sikap tegas menolak revisi UU KPK. Paling tidak, Presiden berupaya menunda hingga sentimen negatif dari sebagian kekuatan politik di DPR jauh berkurang dibanding saat ini.
Pilihan ini, kata Saldi, menjadi semacam keniscayaan karena, dengan sentimen negatif tersebut, langkah merevisi UU KPK sangat mungkin menjadi strategi lain untuk melumpuhkan KPK. Kekhawatiran ini memiliki alasan yang amat kuat karena pernah terungkap keinginan sebagian kekuatan politik DPR membatasi KPK hanya berusia 12 tahun.
Selain itu, wewenang penyadapan KPK menjadi incaran sejumlah politikus untuk dihilangkan. "Perlu Bapak ketahui, membatasi sedemikian rupa dan apalagi menghilangkan wewenang penyadapan, KPK akan berubah menjadi lembaga seekor burung yang patah sayap," ujarnya.
ANDRI EL FARUQI