TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera kompak menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan revisi Undang-Undang Pengampunan Pajak dalam Sidang Paripurna, Selasa, 15 Desember 2015. Politikus Gerindra, Nizar Patria, mengatakan usul pengampunan pajak kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23a.
"Fraksi Gerindra menolak keras RUU Pengampunan Pajak menjadi Prolegnas 2015," katanya dalam Sidang Paripurna.
Ihwal UU KPK, menurut dia, Presiden berhak mengajukan revisi ke DPR. Namun pemerintah malah mengembalikan kepada DPR sebagai pengusul revisi. "Fraksi Gerindra menolak keras," ucapnya.
Nizar berangkapan kedua undang-undang tersebut tidak bersifat memaksa, sehingga pengajuan untuk pembahasan bisa dilakukan pada periode berikutnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, meminta revisi UU KPK sebagai usul pemerintah. Alasannya, beberapa waktu lalu pemerintah sudah mengusulkan perubahan undang-undang ini. "Tapi barangkali, karena dinamika dan sebagainya, rancangan ini tidak muncul kembali. Kenapa?" ucapnya. Dia berharap, kalau pemerintah yang mengajukan, pihaknya akan lebih mudah berkonsolidasi dengan lembaga penegak hukum terkait dalam menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Politikus Gerindra lainnya, Martin Hutabarat, mengatakan revisi UU KPK sudah jadi perdebatan sejak dulu. Menurut dia, suasana saat ini tidak kondusif untuk membahas revisi. Begitu juga Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak, kata dia, pemerintah menyampaikan keinginannya, tapi tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
"Kedua RUU ini sebaiknya usul pemerintah. Pada saat suasana sekarang, masyarakat sangat kritis terhadap keberadaan DPR," ujarnya.
Dia mencontohkan istilah "Yang Mulia" yang digunakan untuk memanggil anggota Mahkamah Kehormatan Dewan ketika sidang. Martin malu frasa tersebut dijadikan bahan lelucon masyarakat. "Apa pun alasannya, saya kira tidak pantas diperdengarkan sebutan 'Yang Mulia'," katanya.
Politikus Golkar, Muhammad Misbakhun, mempertanyakan para koleganya yang tidak setuju dengan dua beleid ini. "Ketika Firman membacakan, itu seharusnya sudah merupakan kesepakatan kelembagaan DPR," ujarnya. Firman yang dimaksudkan adalah Wakil Ketua Badan Legislasi Firman Soebagyo. Menurut Misbakhun, seharusnya perdebatan-perdebatan itu sudah selesai di Badan Legislasi.
LINDA TRIANITA