TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan harga obat di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia Tenggara. Pasalnya, menurut Syarkawi, tidak ada regulasi mengenai harga eceran tertinggi baik untuk obat generik bermerk maupun paten. “Bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia, kita masih jauh lebih mahal,” kata Syarkawi setelah bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin, 14 Desember 2015.
Untuk itu, menurut Syarkawi, perlu ada kebijakan tentang batasan harga eceran tertinggi. Dia mencontohkan, untuk obat generik bermerk seharusnya harga maksimalnya tak lebih dua kali dari harga generiknya. Adanya regulasi tentang batasan akan menghindari industri obat untuk menetapkan sendiri harganya.
Sebab, lain dari mahalnya harga obat di dalam negeri adalah karena Indonesia tidak memanfaatkan instrumen regulasi internasional. Salah satu contohnya TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights). Padahal instrumen yang dikeluarkan oleh World Health Organization ini memungkinkan pemerintah memproduksi obat paten yang di pasaran dijual mahal.
Syarkawi mengatakan salah satu negara yang sudah memanfaatkannya ialah India. Walhasil, obat generik dengan harga tinggi di sana bisa terjangkau masyarakat menengah bawah.
Mahalnya harga obat di Indonesia, menurut Syarkawi, sudah masuk dalam kategori memprihatinkan. Jika tak segera diatasi, sistem jaminan kesehatan nasional bisa bangkrut. “Kenapa? Karena di dalam formularium obat nasional itu seharusnya ada tiga jenis obat, yaitu generik, generik bermerk, serta paten. Nyatanya tak semua obat generik. Obat generik bermerk pun masih bisa masuk melalui proses negosiasi,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti itu, beban pemerintah menjadi semakin besar karena harus membayar mahal obat-obat bermerk. Jika tak segera diantisipasi, kata Syarkawi, keterpurukan sistem jaminan kesehatan nasional, seperti yang dialami Yunani, bukan tak mungkin bisa terjadi di Indonesia.
FAIZ NASHRILLAH