TEMPO.CO, Jakarta - Basir Muhamadiyah, 54 tahun, warga Sulawesi Tenggara mengaku ditipu sindikat perekrut calon pegawai negeri sipil (CPNS) bodong.
"Mereka telah menipu saya dan sedikitnya 90 ribu warga di seluruh daerah di Indonesia," ujar Basir saat menggelar konferensi pers di rumah makan di Jakarta Selatan, Senin, 14 Desember 2015.
Basir membeberkan bahwa dari penelusurannya, sindikat itu telah beroperasi sejak 2004. Kepada Basir, sindikat itu mengaku bisa memasukkan ketiga anak Basir sebagai PNS melalui jalur khusus tanpa mengikuti ujian. Namun, Basir harus menyetorkan sejumlah uang.
Dia menceritakan, kronologi penipuan terjadi pada 2010. Pensiunan PNS itu bertemu dengan seorang warga Jakarta Timur, bernama Thamrin Pawani. Dia menjanjikan kepada Basir bisa meloloskan anaknya menjadi PNS di Sulawesi Tenggara tanpa mengikuti ujian.
Untuk meyakinkan Basir, Thamrin menunjukkan bukti-bukti surat perekrutan dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB).
Tergiur dengan tawaran itu, Basir kemudian mendaftarkan ketiga anaknya, Listinawati, Irmawan Muhammaddiyah, dan Irwan Muhamaddiyah. Thamrin kemudian meminta Rp 500 juta agar ketiga anak Basir bisa diloloskan menjadi PNS.
Namun, dia curiga saat perekrutan yang dijanjikan Thamrin tak kunjung ada. Bahkan ketiga anaknya tak mendapat kepastian adanya perekrutan PNS jalur khusus. Basir kemudian melapor ke BKN dan Menpan RB. "Setelah kami verifikasi, ternyata tidak ada perekrutan pegawai melalui pusat, semua harus tes lewat daerah," ujarnya. Merasa ditipu, pada pertengahan 2015, ia melaporkan Thamrin ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri atas dugaan penipuan.
Kuasa hukum Basir, Ilal Ferhard, menambahkan, Thamrin diduga memimpin jaringan sindikat perekrutan CPNS bodong. Dari penelusurannya, Basir mengklaim ada 90 ribu CPNS yang menjadi korban seperti anak-anaknya. Mereka berasal dari Jakarta, Makassar, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara.
Para korban diminta untuk menyetorkan sejumlah uang, mulai dari Rp 45 juta hingga Rp 65 juta. "Tapi sayangnya kasus ini seperti mandek, polisi baru memeriksa Thamrin sekali," katanya.
Dalam menjalankan aksinya, Thamrin diduga memiliki jaringan yang kuat. Di antaranya melibatkan pensiunan anggota kepolisian dan oknum pejabat di BKN dan Kemenpan RB. Badan Reserse Kriminal Mabes Polri belum bisa dikonfirmasi. Pesan yang dikirimkan ke Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Bambang Waskito belum dijawab.
AVIT HIDAYAT