TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar ilmu politik Universitas Indonesia, Burhan Djabir Magenda, ikut kehilangan atas meninggalnya cendekiawan Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson. Kepada Tempo, ia bercerita mengenal Indonesianis itu sejak mengenyam pendidikan di Universitas Cornell, Amerika Serikat, pada 1974.
“Saya kenal dekat dia waktu di Cornell menjadi supervisor, pembimbing, dan co-promotor saya bersama Profesor Kahin,” kata Burhan saat dihubungi pada Minggu, 13 Desember 2015.
Menurut Burhan, Ben Anderson adalah sosok yang memiliki pengetahuan luas tak hanya tentang Indonesia, tapi juga dunia. Teorinya tentang kebangkitan nasionalisme di negara-negara kolonial kerap jadi rujukan. “Dia itu kritis orangnya, pemikirannya juga kritis, cukup mendalam tentang Indonesia. Dia banyak menolong saya,” kata Burhan.
Pada Kamis, 10 Desember 2015, Ben Anderson sempat mengunjungi Universitas Indonesia untuk memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Budaya. Burhan mengatakan ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Anderson. Awalnya, ia berencana untuk mengajak Ben Anderson jalan-jalan di Jakarta. Namun karena Ben sudah memiliki janji dengan orang lain untuk pergi ke Surabaya pada hari itu juga, hal itu urung dilakukan.
“Saya bilang, sampai bertemu lagi di Jakarta. Namun beliau bilang, 'Saya sudah 79 tahun, usia saya sudah tua. Apa bisa ketemu lagi?',” kata Burhan menirukan ucapan Ben Anderson.
Burhan tidak menyangka hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Anderson. Ben Anderson meninggal pada Minggu dinihari, 13 Desember 2015, di Batu, Jawa Timur. Jenazah Anderson disemayamkan di Rumah Duka Adi Jasa, Jalan Demak, Surabaya.
DESTRIANITA K.