TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, mengatakan keberadaan PT Freeport merupakan kolonialisme baru di Indonesia. "Persoalan Freeport ini sejarah kolonialisme baru, VOC baru di Indonesia," kata Masinton dalam diskusi “Freeport, Politik, dan Kekuasaan” di Warung Daun, Jakarta, 12 Desember 2015.
Kisruh Freeport yang belakangan melibatkan pejabat negara, kata dia, memperjelas Freeport yang sering melakukan lobi-lobi terhadap pejabat. "Selalu ada kongkalikong untuk mengatur undang-undang menjustifikasi kolonialisme model baru ini," ujarnya.
Ia mengatakan terbongkarnya rekaman "Papa Minta Saham" menjadi momentum sadar bersama Indonesia masih dalam posisi terjajah. "Yang dieksplorasi Freeport kita tidak pernah tahu. Usir saja Freeport. Kita bisa mengembalikan esensi dari kemerdekaan," tuturnya.
Menurut Masinton, episentrum kegaduhan kasus Freeport yang selalu terulang ada pada pejabat yang punya otoritas kekuasaan dan ikut berbisnis. "Kalau punya kepentingan bisnis pasti gaduh," ucapnya. "Mending kalau bisnisnya jelas, kalau tidak, ya, hanya pemburu rente. Yang melakukan sabotase, ya, orang-orang seperti ini."
Kegaduhan Freeport di Indonesia bermula ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said membongkar dugaan pelanggaran etik. Ini dilakukan Ketua DPR Setya Novanto yang melakukan pertemuan dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Pertemuan tersebut diduga sebagai lobi untuk perpanjangan kontrak Freeport.
Saat ini, persidangan kode etik sedang ditangani Mahkamah Kehormatan DPR (MKD). Sudirman Said, dalam sidang MKD, membawa bukti rekaman percakapan Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Muhammad Riza Chalid. Setya Novanto diduga melanggar kode etik karena mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden dalam lobi perpanjangan kontrak tersebut.
ARKHELAUS W.