TEMPO.CO, Yogyakarta - Belasan anggota Front Jihad Islam (FJI) mendatangi kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat, 11 Desember 2015. Mereka mendesak MUI menerbitkan surat larangan ajaran Syiah.
Dalam pertemuan massa FJI dengan Sekretaris MUI Yogyakarta Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, juru bicara FJI yang juga aktif memimpin Forum Umat Islam DIY, Umar Said, menyatakan keberadaan pengikut Syiah membuat gerah kelompoknya. Dia mendesak MUI mengeluarkan larangan terhadap ajaran ini karena menyimpang dari Islam. "Agar penegak hukum punya dasar bertindak," ujarnya.
Adapun Koordinator FJI, Abdulrahman, mengatakan larangan dari MUI bisa menjadi alasan bagi kepolisian dan kelompoknya memaksa lembaga berhaluan Syiah ditutup. Dia mengungkapkan, kelompok Syiah, Rausyan Fikr, sudah setuju menutup lembaganya saat menghadiri forum mediasi ke Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY pada 2013. "Pengurus Rausyan Fikr bisa dijerat pasal penodaan agama kalau ada surat dari MUI DIY," katanya.
Atas desakan kelompok FJI, Ahmad menyatakan, MUI tak perlu mengeluarkan fatwa khusus terkait dengan Syiah. Menurut dia, sikap MUI mengenai Syiah sudah jelas dan bisa dibaca dalam buku-buku terbitan Majelis. "MUI Pusat sudah menerbitkan banyak buku soal ajaran-ajaran Syiah yang dianggap terlarang," ujarnya.
Ahmad sempat menunjukkan tumpukan sekitar tujuh buku yang mengulas pelarangan ajaran-ajaran Syiah di Indonesia. Dia berpendapat isi buku-buku itu sudah jelas bagi publik. Dia meminta kelompok yang tak setuju dengan Syiah tidak melakukan kekerasan. "Yang dianggap terlarang itu pahamnya, kalau orangnya harus dihormati sebagai sesama manusia," tuturnya.
Kepala Seksi Kemitraan Penerangan Agama Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Abdul Suud, yang ikut dalam pertemuan, mengatakan pihaknya akan segera membahas polemik tersebut dalam pertemuan dengan 50 ormas Islam. "Kesepakatan mediasi pada 2013 bisa dibicarakan lagi," ucapnya.
Adapun Direktur Rausyan Fikr A.M. Sofwan mengatakan fatwa MUI DIY tidak bisa menjadi bukti untuk membubarkan lembaganya. Menurut dia, posisi fatwa MUI sama dengan pendapat ulama dari ormas keagamaan lain, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). "Para ulama NU dan Muhammadiyah tidak mengeluarkan fatwa melarang Syiah," ujarnya.
Kepolisian, kata Sofwan, juga tak bisa menutup lembaganya selama tak melanggar hukum. Bahkan tudingan dari kelompok anti-Syiah terhadap lembaganya tak pernah terbukti. "Kami dituduh menodai agama, meresahkan masyarakat, tapi tidak ada buktinya," tuturnya.
Dia mengungkapkan, warga kampung di sekitar Sekretariat Rausyan Fikr tidak pernah resah oleh kegiatan lembaganya. Masyarakat malah membantu pengamanan ketika hendak diserbu massa anti-Syiah pada Oktober lalu. "Kami 22 tahun berdiri di Yogyakarta, mengapa baru sekarang dianggap meresahkan?"
Sofwan berharap rencana Kantor Wilayah Kementerian Agama menggelar forum dialog disertai sikap serius mencari pemahaman bersama bukan malah menjadi penghakiman terhadap lembaganya. Forum mediasi pada 2013, menurut Sofwan, malah menjadi dialog yang memaksakan pendapat salah satu pihak. "Dalam forum mediasi Kemenag DIY 2013, saya hanya menyatakan Rausyan Fikr siap tutup kalau terbukti melanggar hukum, tapi pernyataan itu malah disalahpahami," ujarnya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM