TEMPO.CO, Bangkalan - Buruh tani di Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, berharap alat bantu pertanian modern, seperti transplanter yang sedang gencar dibagikan oleh Kementerian Pertanian, tidak masuk ke desa mereka. Bantuan itu dikhawatirkan mematikan mata pencaharian para buruh tani.
"Kalau semua pakai mesin, saya akan kehilangan pekerjaan," kata Heriyanto, buruh penggarap sawah menggunakan sapi, di Desa Jaddih, Kamis, 10 Desember 2015.
Menurut Heri, di awal musim hujan seperti saat ini, pesanan garap sawah menumpuk hingga tidak semua bisa terlayani. Sekali garap, Heri mendapatkan upah Rp 100 ribu atau rata-rata Rp 3 juta per bulan. Satu lahan membutuhkan waktu garap selama satu hari. "Kalau ada mesin, warga pasti milih sewa mesin, saya jadi pengangguran," ujarnya.
Apalagi, kata dia, mayoritas lahan pertanian di Desa Jaddih adalah jenis tadah hujan. Sehingga order garap lahan hanya dilakoninya saat musim hujan. "Kalau kemarau tidak ada aktivitas pertanian," katanya lagi.
Koordinator Balai Penelitian Tanaman Pangan Jawa Timur Wilayah Bangkalan, Kasmiati, membenarkan bantuan alat pertanian modern bisa menuai protes dari buruh tani bila penyalurannya tidak tepat sasaran. "Untuk Bangkalan belum ada konflik itu, tapi di daerah lain sudah terjadi," terangnya.
Sebelum konflik muncul, Kasmiati mengungkapkan perlu ada pencegahan oleh pemerintah daerah. Salah satu caranya adalah penyaluran bantuan harus tepat sasaran. Menurut dia, desa-desa yang masih ditemukan aktivitas pertanian memakai jasa buruh tani jangan didahulukan mendapat bantuan.
Bantuan, kata Kasmiati, diberikan kepada desa-desa yang jumlah buruh taninya sangat minim. "Jadi sebelum memberikan bantuan, pemda harus memetakan kondisi buruh tani di tiap desa agar tidak menimbulkan masalah," jelasnya.
Kepala Bidang Produksi Pertanian dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bangkalan, Geger Heri Susianto, mengatakan, potensi konflik dengan buruh tani di Bangkalan sangat kecil karena jumlahnya sangat minim. "Saya pikir kecil kemungkinan konflik terjadi," katanya.
Menurut Geger, masyarakat harus sadar bahwa bantuan alat pertanian itu untuk membantu petani meningkatkan produksi pertanian. Dengan mesin, kata dia, waktu garap lahan yang lama bisa selesai dalam waktu setengah hari. "Sangat efisien dari sisi waktu dan murah," ujarnya.
Sementara itu, Suryani, petani padi di Desa Jaddih, mengeluhkan upah buruh tani yang terus meningkat setiap tahun. Kata dia, pada 2014 upah bajak sawah menggunakan sapi Rp 80 ribu per hari. Tahun ini naik menjadi Rp 100 ribu per hari. "Upah buruh tanam juga naik dari Rp 25 ribu menjadi Rp 30 ribu, belum termasuk jatah makan dan minum dua kali sehari," kata Suryani.
Kondisi itu, kata dia, diperparah dengan terus berkurangnya jumlah buruh tani sehingga menyebabkan waktu tanam molor karena buruh tani masih menggarap lahan orang lain. "Kita order sekarang, baru 4 hari kemudian bisa digarap karena banyak pengorder," ujar Suryani.
MUSTHOFA BISRI