TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menegaskan pihaknya berencana meminta Interpol menangkap taipan minyak, Muhammad Riza Chalid, yang kabur ke luar negeri. Namun, hingga sekarang ini, hal itu belum dilakukan.
"Tapi kami tidak bisa langsung menangkap, harus koordinasi dulu dengan Interpol," kata Badrodin kepada Tempo, Kamis, 10 Desember 2015.
Badrodin menjelaskan, pihaknya tidak bisa serta-merta memanggil seseorang yang telah berada di luar negeri. Untuk itu, pihaknya harus koordinasi dengan Interpol dan kepolisian luar negeri tempat Riza Chalid tinggal. Sebab, sesuai dengan hukum internasional, polisi Indonesia tidak bisa langsung melakukan penangkapan terhadap Riza.
Untuk menyeret Riza Chalid, ucap Badrodin, kepolisian harus melihat undang-undang yang berlaku, baik di Indonesia maupun di negara tempat taipan itu tinggal. "Kalau sudah di luar negeri, ya kami minta bantuan aparat kepolisian setempat," ujarnya. Hal ini diperlukan untuk menentukan koordinat dan alamat tinggal Riza Chalid di sana. Untuk itu, kepolisian juga meminta bantuan dari perwakilannya yang sedang bertugas di sejumlah negara sahabat. "Secara prinsip, tidak bisa langsung menangkap."
Dalam hal ini, koordinasi dengan Interpol sangat menentukan keberhasilan polisi memboyong Riza Chalid ke Tanah Air. Sebab, biasanya kepolisian masing-masing negara lebih mementingkan situasi nasional mereka.
Meski begitu, hingga saat ini, Mabes Polri belum banyak bergerak memburu Riza. Kepolisian juga belum tahu keberadaan Riza. Alasannya, hingga saat ini, Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat belum meminta polisi memanggil Riza. Jika nanti ada permintaan, polisi bakal melakukan komunikasi dengan Interpol untuk menyeretnya ke hadapan MKD.
Rumor yang beredar, Riza Chalid bertolak dari Indonesia menuju ke Singapura. Ada juga asumsi lain yang menyatakan Riza pergi ke Singapura untuk melanjutkan perjalanan ke Rusia. Sampai saat ini, belum ada kejelasan terkait dengan kepergian Riza dari Indonesia.
Sebelumnya, Riza Chalid diduga kuat ikut hadir dalam lobi Ketua DPR Setya Novanto dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Lobi perpanjangan kontrak karya itu diduga melanggar etik lantaran mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta 20 persen saham PT Freeport Indonesia.
AVIT HIDAYAT