TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal Polri memanggil lagi penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan untuk dibawa ke Bengkulu, Kamis besok, 10 Desember 2015. Inilah yang ketiga kalinya penyidik memboyong Novel ke Bengkulu.
Menanggapi hal ini, pengacara Novel Baswedan, Muji Kartika Rahayu mengatakan pemanggilan Novel pada Kamis besok untuk dibawa ke Polda Bengkulu tidak memiliki tujuan yang jelas. “Urgensinya penyidik menahan untuk apa? Kan semua keterangan sudah jelas,” kata Kartika seusai konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu, 9 November 2015.
Kartika menduga ada skenario yang ingin dimainkan oleh polisi sehingga kembali memboyong Novel ke Bengkulu. Tapi, kata Kartika, skenario itu terlihat aneh dan sangat sarat pemborosan uang negara.
Keanehan yang dimaksud Kartika di antaranya, polisi membawa Novel ke Bengkulu pukul 14.35 siang pada Kamis pekan lalu. Tujuannya, polisi hendak melimpahkan berkas perkara Novel ke Kejaksaan Negeri Bengkulu. Ini yang kedua kalinya polisi membawa Novel ke Bengkulu. Pertama kali diboyong ke sana ketika polisi menangkap Novel beberapa bulan lalu.
Setelah tiba Bengkulu, Novel tidak dibawa ke kejaksaan negeri. Tapi justru diboyong ke markas Polda Bengkulu. Di sini Novel bermalam sekalian diperiksa lagi oleh penyidik. Pada esok harinya, kata Kartika, Novel dibawa lagi ke Jakarta tanpa sempat berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Bengkulu.
“Lalu agenda Kamis besok juga sama seperti minggu lalu. Waktu keberangkatannya pun persis sama. Di sana tidak ada pelimpahan dan tidak ke kantor jaksa. Ya buat apa? Itu kan hanya menghamburkan uang negara saja,” ujar Kartika.
Ia mengatakan, bila skenario polisi masih sama, tentunya hanya pemborosan anggaran. Kartika menaksir biaya yang dileluarkan polisi memboyong Novel ke Bengkulu mencapai Rp 30 juta. Angka ini berasal dari perhitungan biaya tiket per orang sebesar Rp 677 ribu sekali jalan. Sedangkan rombongan polisi terdiri dari tujuh orang penyidik, empat orang dari Kejaksaan Agung, Novdel serta dua orang pengacaranya. Ada lagi dua orang dari biro hukum KPK yang mendampingi Novel.
Dia menambahkan, pemborosan ini tidak hanya terjadi di Polri, tapi juga KPK yang menanggung biaya penerbangan dua orang dari biro hukum tadi. "Uang yang dikeluarkan Polri tersebut seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih berguna," kata Kartika.
Dia mempertanyakan pula alasan jadwal keberangkatan ke Bengkulu pada siang hari. "Sampai ke Bengkulu jam berapa? Memangnya kantor jaksa masih buka? Terus disuruh nginap lagi." Karena dugaan pemborosan tersebut, Kartika berencana mendesak Polri agar membuka dana yang dikeluarkan dalam menangani perkara Novel.
Adapun kasus Novel ini dari awal sudah sarat dengan rekayasa. Penyidikan perkara Novel bemula ketika KPK menyidik kasus korupsi proyek simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri, Oktober 2012 lalu. Padahal perkara yang menjerat Novel terjadi pada Februari, 2004 silam. Saat itu, Novel merupakan penyidik kasus korupsi yang menjadikan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, waktu itu Kepala Korlantas, sebagai tersangka.
Bareskrim menuduh Novel telah menganiaya pencuri sarang burung walet di Bengkulu, pada Februari 2004. Saat itu Novel menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bengkulu berpangkat inspektur satu.
Polisi sempat menghentikan penyidikan kasus Novel atas perintah Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI masa itu. Namun Bareskrim mengungkit lagi perkara Novel ketika KPK mengusut kasus dugaan korupsi rekening gendut Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
BAGUS PRASETIYO