TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Transparancy International Indonesia (TII) Wawan Suyatmika mengatakan sampai saat ini politik uang dalam pemilihan kepala daerah serentak masih eksis, baik di ruang tertutup maupun terbuka, terang maupun gelap. "Politik uang makin eksis baik di ruang di hulu atau hilir," kata Wawan dalam diskusi Transparansi dan Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta Minggu 6 Desember 2015.
Selain itu, kata Wawan, peran pengusaha sebagai penyokong dana akan selalu ada. "Suka tidak suka, selalu ada kepentingan pengusaha dalam lingkaran demokrasi," katanya. "Yang penting adalah diagnosis politik uang sehingga bisa mencegah dari awal," kata dia.
Untuk melihat ada konflik kepentingan atau tidak, kata dia, semua pejabat publik perlu membuat deklarasi konflik kepentingan. "Upaya pencegahan sudah ada tetapi praktek oligarki mafia pemilu ternyata lebih maju dari perangkat pemilunya," katanya.
Oleh karena itu, kata Wawan, sumber dana kampanye penting mencantumkan alamat dan nama penyumbang dana kampanye. "Ini harus ada akuntabilitas publik. Biar tahu siapa saja yang menyumbang dan berapa besarannya," katanya.
Saat publik mengetahui siapa penyumbang dana, publik juga dapat mengetahui bahwa tidak ada konflik kepentingan. "Ini untuk meniadakan ruang gelap terhadap calon," katanya.
Peneliti Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Agustyati memiliki catatan kepala daerah berlatar belakang pengusaha. Ninis mengatakan bahwa terdapat 10 perempuan kepala daerah calon berlatar belakang pengusaha. "10 di antaranya adalah pengusaha. Artinya perlu ruang pengawasan pemilu," katanya. "Ini menjadi pertaruhan demokrasi di Indonesia," kata dia lagi. Pada 9 Desember nanti 269 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak.
ARKHELAUS W