TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengungkapkan bahwa sistem pemilihan umum lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di Indonesia berjalan sendiri-sendiri dan saling berlainan. Hal tersebut, menurut Didik, menyebabkan para kepala daerah banyak yang tersandung kasus.
"Kepala daerah dan DPRD partainya beda, kenapa bisa jalan? Karena transaksi. Hampir semua kebijakan kepala daerah tidak langsung disetujui DPRD sehingga kebijakan yang bagus terdistorsi transaksi. Tidak heran banyak kepala daerah yang masuk penjara," ujar Didik dalam acara Perspektif Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 5 Desember 2015.
Didik mengatakan, saat lembaga eksekutif dan legislatif dipilih tidak pada saat yang bersamaan, akan terdapat kemungkinan terjadinya divided government atau pemerintahan terbelah. "DPRD sudah dipilih, baru pilkada. Nanti, kan, enggak nyambung. Peta koalisi enggak nyambung," kata Didik.
Selain itu, sistem pemilihan yang sekarang ada di Indonesia kerap menimbulkan pemerintahan yang terputus. "Saat presidennya SBY dari Demokrat, gubernurnya Bibit dari PDI Perjuangan, dan bupatinya Pekalongan dari Golkar. Makanya enggak semua kebijakan nasional di-support pemerintah daerah. Sebaliknya, enggak semua keinginan daerah didukung pemerintah pusat," tutur Didik.
Agar hal tersebut tidak terulang pada masa mendatang, menurut Didik, sistem pemilu di Indonesia harus didesain ulang. Menurut dia, Indonesia memerlukan pemilu nasional dan pemilu lokal. "Bukan pilkada serentak, tapi pemilu nasional untuk memilih presiden, DPD, dan DPR. Dua tahun kemudian, pemilu daerah untuk memilih kepala daerah dan DPRD," ucap Didik.
ANGELINA ANJAR SAWITRI