TEMPO.CO, Bandung - Pemerintah Jawa Barat menyiapkan rancangan revisi Perda Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (KBU). Rancangan itu sudah memasuki tahap Uji Publik. “Ini sudah belasan kali Uji Publik,” kata Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar di Bandung, Jumat, 4 Desember 2015.
Deddy mengklaim, rancangan revisi Perda itu bakal lebih tegas dan menghindari multitafsir yang menjadi kelemahan Perda KBU saat ini. “Gimana caranya merevisi ini supaya semua pihak terkait bertanggung jawab,” kata Deddy.
Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan Bambang Riyanto mengatakan, revisi Perda itu juga bertujuan untuk memulihkan kawasan hijau di KBU. “Untuk memulihkan kondisi daya dukung dan daya tampung di sana menjadi tanggung jawab pemerintah,” katanya di sela Uji Publik rancangan revisi Perda KBU itu, Jumat, 4 Desember 2015.
Kepala Seksi Pengendalian dan Pengawasan, Bidang Tata Ruang Kawasan, Dinas Permukiman dan Perumahan, Eko Damayanto, membeberkan sejumlah perubahan yang tercantum dalam Perda itu. Salah satunya adalah kawasan KBU yang dalam Perda lama hanya 39 ribu hektare, kemudian diplot menjadi 41 ribu hektare.
Eko menjelaskan, perluasan itu terjadi menjawab kritik batas KBU yang tidak jelas. KBU sendiri merupakan areal yang mengikuti kontur cekungan Bandung dengan batas maya ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. “Batas ini sulit dikenali sehingga menimbulkan berbagai hal di lapangan, termasuk konflik perizinan,” katanya.
Pada rancangan revisi Perda KBU, batas kawasan diambil mengikuti batas fisik yang gampang dikenali masyarakat. Akibatnya, ada daerah yang sebelumnya masuk areal KBU akhirnya dikeluarkan, sebaliknya yang asalnya tidak malah masuk. “Batasnya lebih mudah dikenali tapi menjadi lebih luas,” kata Eko.
Eko mencontohkan, batas fisik berupa jalan tol di Kabupaten Bandung Barat, bagian utaranya seluruhnya masuk KBU dan selatan jalan tidak. Lalu di Kota Bandung batasnya di utara adalah Jalan AH Nasution hingga Bundaran Cibiru, yakni di utaranya masuk KBU dan selatannya tidak. “Batasnya mudah dikenali,” katanya.
Pola ruang kawasan KBU juga dirombak dalam rancangan revisi Perda KBU. Perombakan itu mengikuti pola ruang yang ada dalam dokumen RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) masing-masing daerah yang diasumsikan lebih akurat karena mengikuti pola ruang yang sudah ada. “Kita coba seakurat mungkin dengan kondisi lapangan,” kata Eko.
Eko mengatakan, rancangan revisi Perda KBU mencatumkan arahan zonasi sebagai alat kendali kawasan mengikuti ketentuan Undang-undang Tata Ruang Nomor 26/2010. Arahan zonasi ini memungkinkan masuknya sistem insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang KBU.
Rancangan revisi Perda KBU melebarkan zonasi menjadi tujuh. Pembagian itu mengikuti pertimbangan di antaranya daya dukung, kawasan hutan, areal rawan bencana, serta daerah resapan air. Eko mencontohkan, Zona A1 luasnya 17 ribu hektare, porsi paling besar, yakni 41,41 persen areal KBU merupakan daerah kawasan lindung, cagar budaya, dan mempunyai risiko bencana tinggi. Ada penambahan zonasi baru, Zona Kawasan Khusus, yakni areal militer, pusat pelatihan, serta areal kantor pemerintahan.
Pembagian zonasi itu juga mengubah proses perizinan. Hal baru misalnya, kawasan yang masuk kategori strategis, yakni Zona 1 dan Kawasan Khusus, semua perizinannya diambil alih oleh pemerintah provinsi. “Dalam kriteria tertentu, yakni arealnya di atas 1 hektare, berdekatan dengan kawasan lindung dan Kawasan Khusus, berdekatan dengan Tahura dan Observatorium Boscha,” kata Eko.
Selebihnya, perizinannya mengikuti kondisi areal tersebut. Misalnya, untuk kawasan KBU di perkotaan, pemberian izin tidak perlu rekomendasi gubernur, tapi cukup berupa pelaporan perizinan pada pemerintah provinsi.
Soal penjatuhan sanksi juga tercantum dalam rancangan reivisi Perda KBU. Di antaranya, bangunan yang terindikasi melanggar ketentuan KBU bisa langsung dihentikan pembangunannya dan disegel tanpa perlu mengikuti mekanisme tiga kali surat teguran. Juga soal strategi pemulihan kawasan dengan kewajiban pengembangan ruang terbuka hijau abadi.
AHMAD FIKRI