TEMPO.CO, Bengkulu - Lilis, warga Desa Meles Atas Kabupaten Rejang, Bengkulu, awalnya tidak percaya diri untuk mencalonkan diri menjadi anggota Badan Pemusyawaratan Desa (BPD). Selain karena hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP), perempuan 30 tahun itu mengaku minder 'bertarung' dengan anggota lainnya yang semuanya laki-laki.
Ketakutan Lilis sirna tatkala perempuan lain di desanya bersatu mendukungnya. Ia pun menjadi satu-satunya perempuan yang akan memperjuangkan kepentingan kaumnya dalam rencana pembangunan desa. "Saya miskin, hanya tamatan SMP. Apalagi saya perempuan. Awalnya tidak yakin untuk mencalonkan diri menjadi anggota BPD," kata Lilis dalam acara Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di Bengkulu, Rabu, 2 Desember 2015 lalu.
Setelah menjadi anggota BPD, Lilis kini juga mengambil paket C agar dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Ia merasa umur tak harus menjadi penghalang untuk terus sekolah. "Tidak zamannya lagi perempuan itu bodoh," kata perempuan yang juga punya usaha minuman buah ini, dengan suara mantap.
Jumi Narti, pengurus wilayah KPI Bengkulu, menyebut Lilis sebagai salah satu gambaran perempuan desa yang mampu keluar dari belenggu budaya patriarki. Budaya inilah yang dinilai menghambat perempuan dalam mengakses pendidikan, serta kurang bisa berkiprah dalam bidang ekonomi dan politik. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama dalam organisasi sosial.
Menurut Jumi, kuatnya budaya patriarki inilah yang ingin dikikis oleh Koalisi Perempuan dengan pembuatan Balai Perempuan di tingkat desa. Balai Perempuan, kata dia, "tempat di mana para perempuan desa berdiskusi dan berjejaring untuk membuka akses mereka terhadap informasi, sosial, ekonomi, serta akses jaminan perlindungan sosial, dan menemukan potensi dirinya."
KPI menilai kondisi perempuan di perdesaan sangat memprihatinkan. Bukan hanya miskin, melainkan mereka juga kerap menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual. "Parahnya selama ini mereka tidak sadar jika yang terjadi atas mereka adalah sebuah penindasan dan menganggap itu hal yang wajar," tambah Jumi.
KPI memiliki puluhan Balai Perempuan yang tersebar di beberapa kabupaten, termasuk di Kabupaten Bengkulu Tengah, Rejang Lebong, dan Bengkulu Utara. Melalui Balai Perempuan itu, acara diskusi dan temu kader, KPI secara perlahan-lahan menanamkan kesadaran tentang pentingnya perempuan berkiprah dalam banyak kegiatan sosial. Meski banyak hambatan, hasilnya mulai terlihat. "Setidaknya mereka sudah mulai berani bersuara dan terlibat aktif dalam perencanaan dan pembangunan di desanya."
Salah seorang anggota Balai Perempuan Kemumu, Kabupaten Bengkulu Utara, Sulastri mengatakan, banyak hal positif yang didapatkannya setelah menjadi anggota KPI. "Bukan hanya menambah pengetahuan dan wawasan, melainkan jejaring KPI juga membuka akses saya untuk mengembangkan usaha," ungkapnya.
Dengan berjejaring, kata Sulastri, seperti di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta dinas instansi lainya, makanan kecil hasil produksinya saat ini telah dipasarkan dan masuk minimarket yang ada di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kota Bengkulu. "Saya juga menampung hasil produksi ibu-ibu kelompok untuk dipasarkan sehingga ibu-ibu lain juga dapat tambahan pendapatan," katanya kemudian.
PHESI ESTER JULIKAWATI