TEMPO.CO, Paris - Aneka kepentingan mulai mengemuka dalam perundingan di Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Paris. Baik antara negara maju dengan negara berkembang, maupun di internal kelompok masing-masing.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berpesan kepada negosiator Indonesia yang mengikuti puluhan persidangan. “Selalu kaitkan isu di sini dengan program pemerintah, dan demi melindungi daya dukung Bumi untuk kehidupan yang lebih baik dengan menahan laju kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajat Celsius,” kata Siti yang menjadi Ketua Delegasi Indonesia di Conference of Partys (COP) ke-21 di Paris.
Persidangan 3 Desember 2015 masih membincangkan format pembahasan berkenaan dengan persetujuan serta pengambilan keputusan. Seperti prinsip dan batasan diferensiasi, kemajuan, ambisi, bentuk legal, keuangan, transparansi, dan compliance. Termasuk pada pendekatan-pendekatan prinsip.
“Isu terbesar yang bakal alot di persidangan, yaitu diferensiasi,” kata Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Diferensiasi merupakan kategorisasi tingkat ekonomi negara dan tanggung jawabnya dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Negara maju ingin tanggung jawab penurunan emisi gas-gas rumah kaca juga dipikul semua negara. Mereka melupakan sejarah bahwa emisi gas rumah kaca di atmosfer saat ini berasal dari pembangunan yang mereka lakukan sejak Revolusi Industri di abad ke-18.
Amerika Serikat dan sekutunya mengabaikan nilai-nilai dasar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang common but differentiated responsibility (CBDR). Mereka abai terhadap nilai keadilan iklim, dengan mewajibkan negara-negara berkembang menurunkan emisi nasionalnya, walaupun rata-rata emisi per kapitanya lebih rendah daripada emisi per kapita di negara-negara maju.
Prinsip dalam UNFCCC sudah jelas, negara maju sebagai penyebab krisis iklim bertanggung jawab melakukan penurunan emisi lebih dulu. Hal ini nantinya akan diikuti oleh negara berkembang setelah mendapatkan bantuan teknologi dan pendanaan dari negara maju. Negara maju juga sangat pelit untuk memberi bantuan teknologi dan dana semacam itu.
Secara umum, negara-negara maju melihat diferensiasi harus disesuaikan untuk masing-masing elemen. Misalnya, eleman mitigasi yang menegaskan dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC) sebagai self-differentiation. Juga elemen adaptasi yang dukungannya perlu diberikan secara berbeda, bergantung pada tingkat climate resilience atau kerentanan masing-masing negara.
Dalam hal elemen keuangan, negara maju berjanji akan tetap memberi bantuan bersama (countries willing/able to do so). Untuk itu, dalam hal transparasi, diperlukan standar dan satu sistem yang satu. Berkenaan dengan compliance, akan diterapkan pada semua negara dengan fleksibilitas untuk negara berkembang.
Sikap negara maju di atas mendapat penolakan dari negara berkembang. Dalam elemen mitigasi, negara berkembang konservatif, seperti Cina, India, Malaysia, Venezuela, Saudi Arabia, dan Tuvalu berpandangan untuk tetap mengacu pada tanggung jawab sejarah (historical responsibilities). Mereka menginginkan pembedaan agar aksi mitigasi dan lainnya merupakan kewajiban negara maju dan kontribusi sukarela dari negara berkembang.
Negara berkembang secara keseluruhan juga menolak konsep self-differentiation karena akan memberi ruang aksi minimalis negara maju. Mereka bakal ogah-ogahan menurunkan secara maksimal emisi gas rumah kaca di negaranya. Namun ada beberapa negara berkembang yang setuju dengan pandangan negara maju, yaitu Kolombia dan Meksiko.
Dirjen Pengendali Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin menjelaskan, pada setiap perundingan delegasi Indonesia selalu mengingatkan prinsip Common but Differentiated Responsibilities dan Respective Capabilty (CBDR-RC) harus tetap diberlakukan. Kemajuan yang dicapai harus diimbangi dengan dukungan.
“Negara maju wajib di depan memimpin dalam ambisi emisi dengan prinsip kesetaraan, tapi negara berkembang tetap harus diberikan ruang untuk menjalankan pembangunannya,” kata Siti Nurbaya.
Menurut Siti Nurbaya, harus ada recognition atas upaya negara berkembang yang telah berkontribusi. Pada saat yang sama, negara maju harus memberikan dukungannya atas prestasi tersebut. Indonesia juga mendorong proses yang transparan, tapi harus seimbang antara transparan dalam langkah-langkah penurunan emisi maupun dalam hal dukungan dari negara maju.
UNTUNG WIDYANTO (PARIS)