TEMPO.CO, Makassar -- Auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Sulawesi Selatan, Muhammad Toha Solahuddin, mengatakan pemberian kredit untuk 128 petani ubi kayu oleh BNI cabang Bulukumba tidak sesuai aturan perbankan.
"Kredit menggunakan pola kredit secara bersama, namun kenyataannya menggunakan pola perorangan," kata Toha di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar, kemarin.
Toha menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan korupsi kredit modal kerja dan kredit investasi di wilayah Kabupaten Bulukumba. Sidang itu mengadili bekas Pemimpin BNI cabang Bulukumba, Wisnu Suhendra.
Menurut Toha, hasil audit menunjukkan dana kredit yang seharusnya dicairkan untuk para petani hanya digunakan oleh CV. Setia Kawan Sejati, selaku perusahaan penjamin. Para petani tidak satu pun yang menikmati fasilitas kredit itu.
Akibatnya, dana kredit senilai Rp 54,7 miliar menjadi kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan manajemen BNI dan perusahaan penjamin selaku penerima kredit.
Penentuan kerugian negara itu, dia menjelaskan, disebabkan anggaran itu seharusnya tidak keluar karena tidak memenuhi syarat.
Jaksa juga menghadirkan Satuan Pengawas Internal BNI, Helmy. Menurut Helmy, penunjukan perusahaan penjamin tidak sesuai dengan prosedur. Seharusnya CV Setia belum bisa mendapat fasilitas kredit karena perusahaannya baru berdiri kurang dari setahun.
Helmy mengatakan pejabat bank harus melakukan verifikasi data para calon penerima kredit sebelum pencairan dana dilakukan. Namun itu tidak pernah dilakukan. "Ini tentu menjadi tanggungjawab pimpinan cabang," kata dia.
Jaksa Prima Sophia Gusman mengatakan keterangan saksi telah menguatkan peran terdakwa dalam kasus ini. "Selaku pimpinan, terdakwa harusnya melakukan pengawasan secara memadai," kata dia.
Wisnu dinilai telah menyalahgunakan wewenangnya dengan cara menyetujui pencairan kredit sebesar Rp 54,7 miliar yang menggunakan data fiktif. Awalnya, dana kredit itu akan dibagikan untuk 100 petani ubi kayu dan 28 petani traktor.
Setiap petani ubi kayu bakal mendapat Rp 440 juta. Sedangkan petani traktor menerima masing-masing Rp 370 juta untuk pengadaan traktor.
Setiap petani akan menggarap lahan seluas 50 hektare dari total lahan yang digunakan seluas 5.000 hektare. Namun ternyata tidak satu pun petani yang mendapatkan dana kredit.
Dana kredit itu malah digunakan pemohon kredit untuk kepentingan pribadi antara lain seperti membangun pabrik tapioka, membangun instalasi listrik, membeli 1 unit kapal, membeli 80 unit mobil truk, serta membeli 100 unit motor.
Pengacara Wisnu, Maulud Buchari mengatakan kliennya menolak keterangan saksi ahli. Menurut dia, kredit telah dilakukan sesuai prosedur. "Bantuan kredit itu telah dinikmati oleh petani."
AKBAR HADI