TEMPO.CO, New Delhi - Emisi gas rumah kaca yang mempengaruhi pemanasan global tak hanya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan, tapi juga sendawa hewan ternak. Gas metana yang dikeluarkan ternak, terutama sapi, mencapai 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca di dunia.
Peneliti International Livestock Research Institute (ILRI) Kenya, Asaah Ndambi, mengatakan konsumsi daging sapi yang meningkat di dunia seiring dengan naiknya jumlah penduduk di negara berkembang dan perubahan gaya hidup akan mempercepat kenaikan temperatur di bumi.
Meningkatnya pendapatan dan urbanisasi secara cepat di Asia dan Afrika juga menyebabkan permintaan produksi ternak meningkat. Karena itu, menurut Asaah Ndambi, langkah strategis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor ternak adalah mengubah pola konsumsi dengan diet protein nonhewani.
“Kebiasaan masyarakat India tidak makan daging sapi perlu dilestarikan. Itu akan ikut mencegah meningkatnya pemanasan global,” kata Asaah dalam Annual Media Briefing on Climate Change for Journalists of the Global South yang diselenggarakan Centre for Science and Environment di New Delhi, India, awal November lalu.
Mengubah pola konsumsi protein itu tentu tidak mudah. Sebab, produksi ternak dunia menyediakan sepertiga dari total suplai protein makanan. Saat ini terdapat 19 miliar ternak dengan nilai aset US$ 1 triliun. Sekitar 33 persen dari total lahan pertanian dipakai untuk produksi pakan ternak.
Di Indonesia, konsumsi protein hewani per kapita per hari yang hanya 4,7 gram masih di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). WHO menetapkan konsumsi minimal 6 gram per kapita per hari. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan konsumsi dan kebutuhan daging dengan 23 persen di antaranya dipasok dari sapi. Tapi, ”Salah satu kunci mencegah pemanasan global adalah diet daging dan memperbaiki manajemen ternak,” kata Asaah kepada Tempo di New Delhi.
Metana (CH4) adalah gas tidak berbau yang menimbulkan efek rumah kaca. Komposisi metana di atmosfer bumi lebih rendah dibanding karbon dioksida (CO2), tapi koesifien daya tangkap panas metana lebih tinggi, yakni 25 kali karbon dioksida. Pemanasan global disebabkan oleh naiknya jumlah emisi gas rumah kaca, termasuk metana. Metana mempertipis lapisan ozon yang melindungi bumi, sehingga suhu naik.
Selain berasal dari penguraian sampah organik, metana muncul dari aktivitas pertanian dan transportasi. Sekitar 50 persen metana diproduksi dari aktivitas manusia di sektor pertanian. Dari jumlah itu, 60 persen berasal dari ternak ruminansia, yang dihasilkan melalui proses metanogenesis dalam sistem pencernaan ternak.
Metana dikeluarkan lewat mulut ternak ke atmosfer. Dalam riset D.P. Morgavi (2008), ditunjukkan sapi potong dapat mengemisi metana 60-70 kilogram per tahun, sapi perah 110-145 kg per tahun, dan domba 8 kg per tahun. Live Science melaporkan per tahun seokor sapi menghasilkan gas metana 120 kg, domba 8 kg, babi 1,5 kg, dan manusia hanya 0,12 kg.
Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun lalu pun menunjukkan bahwa emisi dari sektor pertanian (termasuk peternakan), kehutanan, dan perikanan telah meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan akan bertambah 30 persen pada 2050 bila tak ada upaya luar biasa untuk menguranginya.
Aktivitas di sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahannya lainya menghasilkan lebih dari 10 miliar ton gas rumah kaca. Emisi pertanian dari penanaman dan produksi ternak meningkat dari 4,7 miliar ton pada 2001 menjadi lebih dari 5,3 miliar ton pada 2011. ”Peningkatan 14,1 persen ini terutama terjadi di negara-negara berkembang karena ada perluasan lahan pertanian,” kata Francesco Tubiello dari Divisi Iklim, Energi, dan Pertanahan FAO.
Sumber terbesar emisi gas rumah kaca di sektor pertanian adalah fermentasi enterik (fermentasi di tubuh hewan ternak). Metana diproduksi ternak selama proses mencerna makanan dan dilepas melalui sendawa ke atmosfer. Jumlah metana dari ternak pada 2011 tercatat 39 persen dari sektor pertanian. Terdapat peningkatan emisi dari fermentasi enterik sebesar 11 persen antara 2001 dan 2011.
Menurut FAO, pada 2011, gas rumah kaca yang terkait dengan pertanian sebanyak 44 persen terjadi di Asia, 25 persen di Amerika, 15 persen di Afrika, 12 persen di Eropa, dan 4 persen di Oseania. Pada 1990-an, Asia bahkan berkontribusi 38 persen—lebih kecil dibanding pada saat ini—dan Eropa berkontribusi 21 persen.
Salah satu upaya mitigasi di sektor ternak yang bisa dilakukan, menurut Asaah Ndambi, adalah memperbaiki manajemen pakan ternak dan kotoran. Caranya, antara lain, menggunakan suplemen pakan ternak, mengoptimalkan pakan lokal seperti sisa tanaman, dan meningkatkan kualitas pakan. Langkah lainnya, memperbaiki gen untuk meningkatkan produktivitas ternak, mengawasi kesehatan dan siklus ternak, serta mengurangi sampah dalam rantai pasokan ternak. ”Juga harus meningkatkan pola reuse, recylce, dan reduce dalam mata rantai peternakan,” kata Asaah Ndambi.
Upaya di sektor lainnya juga perlu dilakukan. Deputy Director General Centre for Science (CSE) Chandra Bhushan mengatakan pengurangan pemanasan global tidak cukup hanya didesakkan kepada negara-negara berkembang. Sebab, kata dia, negara maju seperti Amerika juga punya kontribusi besar memanaskan bumi. ”Pertemuan 119 kepala negara di Paris ini menjadi sangat penting untuk negosiasi yang adil antara negara maju dan negara berkembang,” kata Chandra di New Delhi.
AHMAD NURHASIM (NEW DELHI)