TEMPO.CO, Subang - Kompleks Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Legon Kulon, Subang, Jawa Barat, pada 2007 masih kering-kerontang. Musim panas adalah musuh utama para siswa dan guru sekolah yang berada di pesisir Pantai Utara (Pantura) Subang yang terkenal berhawa sangat terik itu.
"Setiap hari, matahari seakan-akan selalu ada di atas ubun-ubun. Panas banget," kata Kepala SMPN 1 Legon Kulon, Djaenal Abidin, membuka kisah kegersangan kompleks sekolah yang dimpinnya itu kepada Tempo, Kamis, 3 Desember 2015.
Djaenal bersama para guru kemudian memutar otak untuk mengubah kondisi gersang itu menjadi hijau, nyaman, dan asri agar anak-anak merasa betah belajar di sekolah serta kondisi pun sehat-sehat. Dua syarat itu, diyakini Djaenal, menjadi bekal utama buat anak memaksimalkan prestasi akademik dan nonakademiknya.
Lalu, gerakan Sekolah Hijau pun diproklamasikannya. Berbekal duit kas sekolah, Djaenal mulai membelanjakannya untuk pembelian bibit pohon tegakan produktif dari berbagai jenis. Bibit pohon itu kemudian ditanam dengan cara menyicil area lahan yang paling gersang.
"Sampai akhirnya terkumpul sebanyak 2.000 pohon dari 85 jenis yang telah kami tanam di seluruh kompleks sekolah," Djaenal menjelaskan. Ia pun tak menyisakan sejengkal pun lahan tanpa pepohonan.
Namun di tengah-tengah sukses menanam ribuan pohan tersebut, Djaenal dihadapkan pada persoalan ketersediaan air, terutama pada musim kemarau panjang. Maklum, Legon Kulon merupakan daerah krisis air pada saat puncak kemarau.
Tak kehabisan akal, Djaenal pun kemudian meminta para siswanya secara sukarela membawa dua botol air setiap hari buat menyiram tanaman. Lalu, cara lain juga ditempuh, yakni dengan memanfaatkan air bekas wudu atau bersuci. Hasilnya pun tokcer.
Agar sistem penyiraman teratur, dilakukan pembagian piket menyiram yang dilakukan oleh kelompok siswa di kelasnya masing-masing. Cara tersebut ternyata sangat efektif. "Semangat anak-anak dalam upaya melestarikan alam kami beri apresiasi dengan cara melakukan lomba antarkelompok," ujar Djaenal.
Alhasil, setelah berlangsung selama tujuh tahun, tepatnya pada 2013, usaha keras gotong-royong antara kepala sekolah, para guru, dan para siswanya yang berjumlah 700 orang itu membuahkan hasil yang manis.
Lingkungan sekolah yang semula gersang berubah total jadi ijo royo-royo dengan kondisi lingkungannya yang bersih dan sehat itu, SMPN 1 Legon Kulon ditahbiskan sebagai sekolah berbasis lingkungan terbaik tingkat nasional.
"Kami pun mendapatkan penghargaan Adiwiyata Nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (waktu itu Kemendiknas) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (waktu itu KLH)," kata Djaenal.
Tak puas dengan hanya menyabet penghargaan Adiwiyata hasil kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Djaenal terus melakukan pembenahan-pembenahan di setiap sudut sekolah agar tampak lebih hijau, rimbun, dan indah. Termasuk memelihara setiap jengkal taman yang tampak asri dan penuh rupa warna bunga-bungaan itu.
"Terus terang, kami ingin menyabet penghargaan Adiwiyata Mandiri dari Presiden RI," ujar Djaenal.
Pembina OSIS SMPN 1 Legon Kulon, Samud Heryana, menjelaskan, penghargaan Adiwiyata merupakan program kerja sama KLH dan Kemendiknas serta penghargaan Adiwiyata Mandiri dari Presiden merupakan upaya buat mendorong pengetahuan dan meningkatkan kesadaran warga sekolah dalam melestarikan lingkungan hidup.
Puteri, salah seorang siswi kelas VII SMPN 1 Legon Kulon, mengaku bangga menjadi salah satu siswa di sekolah yang menyandang berbasis lingkungan hidup itu. "Meski sekolahan kami berada di kampung, kami bangga karena punya prestasi terbaik tingkat nasional," ujarnya penuh semangat. Ia bertekad mempertahankan bahkan memperbaiki sekolah hijaunya seterusnya.
NANANG SUTISNA