TEMPO.CO, Lumajang - Perang bisnis pasir mulai terindikasi mulai berkecamuk di Lumajang pasca tragedi Salim Kancil. Perang bisnis pasir ini dipicu oleh harga pasir Lumajang yang dinilai masih sangat tinggi di tingkat lokal dan bahkan di daerah yang dituju.
Dari informasi yang diperoleh Tempo, harga pasir seukuran dump truk kecil atau sekitar tujuh kubik mencapai Rp 1 juta. Padahal sebelum tragedi tewasnya aktivis tambang Salim Kancil, harganya Rp 400 ribu. Harga pasir tambah melonjak tajam ketika dibawa ke luar Lumajang atau ke Surabaya.
Jika sebelumnya harga satu tronton dengan ukuran lebih kurang 20 meter kubik sampai ke Surabaya seharga Rp 3,8 juta, maka saat ini bisa mencapai Rp 7 juta. "Bisa Rp 7 juta harganya," kata seorang broker pasir kepada Tempo, Rabu 2 Desember 2015.
Tingginya harga pasir inilah kemudian yang memicu terjadinya perang bisnis pasir di Lumajang. Buntutnya, saling klaim lahan tambang serta tumpang tindih perizinan penambangan tengah terjadi saat ini.
Sengketa tumpang tindih perizinan penambangan pasir ini terjadi di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Di lokasi penambangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Glidik ini terjadi sengketa antara PT Lumajang Pasir Mandiri dengan PT Duta Pasir Semeru. Kendati masih terjadi tumpang tindih, lokasi penambangan seluas kurang lebih 11 hektare ini tetap dilakukan penambangan.
Benih konflik dan potensi perang bisnis pasir ini juga merembet ke sejumlah desa yang memiliki DAS lahar Semeru sebagai sumber potensi bahan galian C atau pasir bangunan. Hal ini salah satunya dipicu oleh izin yang dikeluarkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Timur kepada 15 pemilik izin penambangan yang dulunya memang sudah memiliki Ijin Usaha Pertambangan.
Dari 15 izin tersebut, 8 diantaranya adalah penambang modern yang menggunakan alat berat dalam kegiatan penambangan pasir. Seperti penambangan yang terjadi di Desa Bagi tepatnya di DAS Rejali. Hanya segelintir kecil saja warga setempat yang terlibat dalam penambangan. Sedangkan sebagian besar warga yang dulunya pernah menikmati hasil penambangan di pesisir selatan hanya melihat saja pasir di desanya dikeruk penambang besar.
Benih konflik juga terjadi di DAS Kalimujur, yang menghadap-hadapkan antara penambang besar dengan penambang tradisional. Saling klaim dan caplok areal lahan untuk kemudian diajukan perizinannya berpotensi menimbulkan konflik antar warga.
"Sudah saatnya pemerintah berdiri di pihak rakyat kecil atau penambang tradisional," kata pendamping Paguyuban Penambang Tradisional Kalimujur, Mansur Hidayat.
DAVID PRIYASIDHARTA