TEMPO.CO, Yogyakarta - Pagi-pagi, Sukadi, 43, sudah menyelonjorkan kaki di sudut teras rumahnya yang langsung menghadap hamparan kebun bunga amarylis atau lili yang dominan warna oranye, Minggu, 29 November 2015. Puluhan orang berbagai usia tampak lalu-lalang gembira di kebun bunga milik Sukadi yang berada pas di pinggir Jalan Yogya-Wonosari KM 18, atau tepatnya Dusun Ngasemayu, Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, tersebut.
Kebun bunga amarylis atau yang dalam bahasa warga setempat disebut Brambang Procot itu, belakangan menjadi buah bibir di lini massa. Para netizen, atau pengguna internet, riuh soal kebun bunga Sukadi yang rusak karena diinjak-injak dan dipetik untuk atribut aksi selfie para pengunjung. Buah bibir netizen itu lantas menjadi sorotan media. Sukadi, yang sebelumnya hanya petani biasa dan punya sambilan berjualan mainan di Pasar Piyungan, mendadak tenar. Ayah dua anak itu kebanjiran permintaan wawancara soal kebun bunganya.
"Sebagai pemilik kebun, saya sebenarnya malah senang dengan peristiwa ini (rusaknya kebun bunga)," ujar Sukadi saat ditemui Tempo di rumahnya yang sederhana tanpa perabot itu.
Suami dari Wartini itu menuturkan, dengan banyaknya pengunjung ke kebun bunganya, berarti masih banyak warga yang mencintai bunga amarylis yang notabene sempat dianggap gulma oleh warga setempat. "Dulu bunga ini diburu dan dibuang karena mengganggu tumbuhnya tanaman pangan di tegalan, sering menyerap pupuk tanaman utama," ujar Sukadi.
Kerusakan kebun bunga akibat aksi selfie pengunjung itu tepatnya terjadi sepekan ini, atau sekitar hari Kamis hingga Sabtu, 26-27 November 2015. Kala itu setiap hari hampir setidaknya lima hingga tujuh bus wisatawan berbagai daerah mampir di kebun bunga itu. "Kebun ini untuk menampung seratus orang saja sudah kelihatan umpeg-umpegan (sesak), apalagi kemarin seribuan orang datang," ujar Sukadi.
Jalur masuk ke kebun bunga yang berjarak sekitar 10 kilometer dari perbatasan Kabupaten Bantul itu hanya selebar dua meter. Alhasil, ketika warga berduyun-duyun ke kebun itu, lalu lintas jalan Yogya-Wonosari di KM 18 itu macet.
Sukadi bercerita, sejak tahun 2004, ketika warga sekitar menilai amarylis itu benalu, Sukadi justru berpandangan bunga yang hanya mekar setahun sekali itu indah dan perlu dilestarikan. Bunga-bunga yang tumbuh liar itu lantas dikumpulkan Sukadi dan ditanam berkelompok di lahan kebunnya yang gersang, bersanding dengan aneka pohon, seperti jati, flamboyan, kelapa, dan sengon.
Karena waktunya cukup senggang, Sukadi pun menanam lebih banyak amarylis hingga memenuhi seluruh pekarangannya yang luasnya sekitar 2.000 meter persegi. Sejak tahun 2006, bunga dengan bibit bagus ia kelompokkan dan budi dayakan dalam bentuk polybag lalu dijual ke pengendara jalan yang melintas.
"Baru pada tahun 2014 kemarin, Pak Camat mengajak rombongan orang melihat kebun saya lalu mulai menyebar gambarnya di internet," ujar Sukadi.
Masa tanam bunga amarylis ini hanya butuh waktu tiga pekan sebelum berbunga. Kemudian bunga ini mekar juga selama tiga pekan. Mekarnya hanya saat penghujan. Pada musim kemarau, tanaman ini tiarap tak menampakkan keindahannya.
"Meskipun disayangkan rusak cepat, kami sekarang jadi tahu cara merawatnya jika nanti mekar lagi," ujar Sukadi yang mengaku sudah menghabiskan kurang dari Rp 10 juta membudidayakan kebunnya itu.
Kebiasaan pengunjung berfoto selfie dan menikmati bunga sudah terekam Sukadi sehingga ia punya sejumlah rencana untuk mengantisipasi agar kerusakan serupa tak terulang.
Misalnya membuat zona-zona, mana untuk berfoto, mana untuk dipetik, dan mana yang steril. Sukadi berencana memberi jalan setapak bersekat untuk menghubungkan antarzona kebunnya itu. "Pemerintah kecamatan juga sudah mendukung ini menjadi destinasi transit wisata sebelum wisatawan ke obyek lain, seperti pantai," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO
Baca juga:
Ah, Rahasia Awet Muda Sandra Dewi di Tangan Si Berondong Ini
Kerlip Lampu Hijau di Bulan, Tanda Ada Kehidupan UFO?