INFO NASIONAL - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama (PUB) merupakan upaya pemerintah untuk melindungi dan melayani umat beragama secara optimal. Demikian penegasan Kabalitbang-Diklat Kemenag Abd. Rahman Mas’ud saat menjadi keynote speaker pada acara workshop “Optimalisasi Peran Pemerintah dan Tokoh Agama dalam Mewujudkan RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB)” yang diselenggarakan Yayasan Generasi Muda Madani Indonesia (YGMI) di Jakarta, Rabu, 25 November 2015.
“Saya kira membicarakan topik RUU PUB ini sudah tepat. Karena sejatinya setiap kita memiliki tanggung jawab untuk sama-sama mengawal terwujudnya regulasi yang baik, regulasi yang berupaya memelihara keharmonisan dan kerukunan masyarakat,” ujarnya.
Baca Juga:
Menurut Rahman, tokoh agama dan aparat pemerintah berperan penting menjembatani kepentingan publik atau umat beragama dengan kebutuhan negara tokoh dalam upayanya mengelola kemajemukan warga negara dengan baik. Kementerian Agama saat ini sedang menyiapkan draf RUU Perlindungan Umat Beragama. Kata ‘perlindungan’ dipilih karena terinspirasi dari kalimat dalam pembukaan UUD 1945 “...melindungi segenap bangsa Indonesia.” Ada juga yang mengusulkan nama lain, seperti “RUU Kehidupan Beragama”, atau “RUU Kerukunan Umat Beragama”, yang dinilai lebih memayungi dan sosiologis.
Rahman mengatakan, sejauh ini tim masih menggunakan istilah RUU Perlindungan Umat Beragama. Soal judul, kata Rahman, dapat disesuaikan setelah RUU ini berbentuk utuh. Lebih dari itu, di berbagai forum, hampir belum ada yang keberatan dengan istilah “perlindungan”.
Kabalitbang menambahkan, prinsip umum regulasi ini adalah melengkapi regulasi yang berlaku saat ini. Sepanjang regulasi yang ada telah cukup memadai dan tidak ada alasan kuat merevisinya, regulasi lama tetap dipertahankan. Norma-norma yang dipandang masih relevan dan applicable dalam masyarakat tetap dibiarkan berlaku. Sementara RUU ini mengisi ruang-ruang kosong yang memerlukan pengaturan.
Baca Juga:
Rahman mencontohkan, masalah pendidikan agama yang dinilai masih cukup diatur dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 55 Tahun 2007. Soal perkawinan juga tidak disentuh meski ada dinamika upaya merevisinya. “RUU ini sedapat mungkin ramping dan hanya mengatur yang diperlukan saja,” ucapnya.
Menurut Rahman, salah satu isu besar yang menyertai penyusunan RUU PUB ini adalah soal definisi agama. Hal ini terutama yang terkait soal kelompok-kelompok agama di luar yang enam, apakah disinggung dalam regulasi ini atau tidak. Rahman mengatakan, kualifikasi atau persyaratan sebagai agama perlu dijelaskan dalam konteks ini.
“Isu penting lainnya adalah soal registrasi agama, majelis agama, FKUB, rumah ibadat, penyiaran agama, perayaan hari besar, pemulasaraan jenazah, dan bantuan luar negeri. Selain itu soal pemidanaan yang menyentuh soal penodaan atau penghinaan agama,” ujarnya.
Rahman menuturkan bahwa naskah akademik RUU PUB ini masih terus berproses. “Kami akan sangat senang menerima berbagai masukan dari para tokoh agama di sini. Syukur-syukur kami terima dalam bentuk tertulis,” katanya. (*)