TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara tim panitia seleksi calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Betti Alisjahbana, memaparkan alasan timnya tidak meloloskan jaksa ke dalam salah satu capim KPK. Menurut Betti, hal tersebut sudah diupayakan oleh tim pansel agar ada jaksa penuntut umum (JPU) yang mendaftar.
“Dari awal kami sudah berupaya agar jaksa penuntut umum mendaftar, bahkan kami sudah berkirim surat dan audiensi agar Jaksa Agung mengirim calon-calon terbaik ke pansel,” kata Betti kepada Tempo, Kamis, 26 November 2015.
Baca Juga:
Betti menuturkan bahwa tim pansel sudah mendalami hal tersebut dengan tidak hanya berlandaskan Undang-Undang KPK, tetapi juga Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999 sebagai induk lahirnya KPK. Dalam Pasal 43 ayat 3 menyebut keanggotaan komisi terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. “Siapa unsur pemerintah tersebut, tidak diatur dengan jelas dalam UU KPK,” kata Betti.
Kemudian dalam Pasal 21 UU KPK juga disebutkan bahwa Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum. Artinya berfungsi sebagai penyidik dan penuntut umum, dan adalah pejabat negara karena KPK adalah lembaga negara independen.
Betti menuturkan tidak ada rumusan norma yang menyebutkan pimpinan KPK harus berasal dari jaksa dan polisi. “Dalam sistem perundang-undangan suatu rumusan norma tidak boleh menimbulkan multitafsir, harus jelas, tegas, dan tuntas, memenuhi rumusan lex scripta,” kata Betti.
Baca Juga:
Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, menuturkan terdapat beberapa kejanggalan dalam seleksi capim KPK tahun ini. Masinton menuding bahwa dalam penyelenggaraannya, tim pansel tidak sesuai dengan UU KPK. Masinton mempermasalahkan tidak adanya capim KPK yang berasal dari kejaksaan.
“Tidak adanya unsur jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum KPK sebagaimana yang telah diatur dalam UU Tipikor, UU KPK, UU Kejaksaan,” kata Masinton.
LARISSA HUDA