TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek berencana melakukan kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang gratifikasi bagi dokter. "Nanti kami akan kerja sama dengan KPK membuat aturan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diterima dokter," kata Nila di kantornya, Selasa, 3 November 2015.
Nila mengatakan pihaknya perlu mengatur lebih rinci apa yang boleh dan tidak diterima profesi dokter. Menurut dia, dokter boleh menerima “hadiah” dari perusahaan obat bila berkaitan untuk mengembangkan kemampuan si dokter. "Untuk membuat riset dan penelitian bagi dokter boleh karena meningkatkan keahlian dokter," ujarnya.
Namun Nila tidak setuju dengan hadiah dari perusahaan farmasi yang diberikan secara individu kepada dokter. "Seperti hadiah jalan-jalan," tuturnya.
Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi S.P. menyambut baik bila Kementerian Kesehatan akan melakukan kerja sama dengan lembaganya tentang aturan itu. "Kami ikut senang dengan rencana itu," ucapnya.
Selama ini, kata Johan, dia sering diminta menjadi pembicara dalam berbagai seminar terkait dengan pencegahan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementerian Kesehatan. "Tapi tidak khusus tentang gratifikasi untuk dokter saja," katanya.
Menurut Johan, sampai saat ini pun KPK tidak pernah mengusut gratifikasi yang diduga didapat oleh para dokter dari perusahaan farmasi. Sedikitnya jumlah anggota KPK membuat para penyidik harus menunggu laporan seseorang dan menelaah lebih lanjut sebelum menginvestigasinya. "Kami harus tunggu laporan dulu sebelum mengusut dokter," ujarnya.
Nila meminta masyarakat tidak menuduh semua dokter melakukan gratifikasi. "Saya yakin, masih banyak dokter yang bekerja dengan profesional," tuturnya.
Sebelumnya, majalah Tempo pernah menuliskan soal strategi perusahaan farmasi yang memberikan hadiah pernak-pernik menawan hingga mobil mewah kepada dokter dalam bisnis obat-obatan di Tanah Air. Imbalannya, dokter diminta menuliskan resep obat yang diproduksi perusahaan farmasi pemberi hadiah itu.
Menurut Iwan Dwiprahasto, dokter dan guru besar farmakologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), nilai bisnis obat yang fantastis membuat perusahaan farmasi berlomba melimpahi dokter dengan hadiah dan komisi. Tahun ini, omzet farmasi Indonesia Rp 69 triliun.
Dana yang dipakai perusahaan untuk menyervis dokter bisa mencapai 40 persen lebih dari harga obat. "Obat jadi mahal karena harus membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri, main golf, atau beli mobil," ucap Iwan, akhir September lalu.
Padahal farmasi lokal tak melakukan riset obat. Mereka tak punya produk paten. Yang diproduksi di sini kebanyakan obat yang telah usai masa patennya alias generik. Lantaran diberi merek—dikenal dengan istilah obat generik bermerek atawa me too—dan dipromosikan habis-habisan, harganya pun melambung. Dokter yang mendapat limpahan hadiah dari perusahaan farmasi lebih suka meresepkan obat me too daripada generik.
Iwan, yang juga menjabat Ketua Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional—lembaga yang menyusun daftar obat untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, pernah melakukan penelitian pada 2009 dan menemukan harga obat generik bermerek bisa sampai 80 kali harga obat generik.
MITRA TARIGAN | MAJALAH TEMPO