TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan bahasa etnis di Indonesia terancam punah. Musababnya, penutur aslinya semakin berkurang ditambah kurang diperhatikannya bahasa-bahasa daerah minoritas oleh pemerintah.
“Terlebih di Indonesia bagian timur,” kata Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Akmadi Abbas dalam pembukaan International Conference on Language, Culture, and Society 2015 di gedung LIPI, Jakarta Selatan, Rabu, 25 November 2015.
Karena itu, ucap dia, LIPI berinisiatif menggelar konferensi bahasa dan kebudayaan bertaraf internasional untuk mencari cara efektif mencegah potensi kepunahan bahasa daerah.
Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI Sri Sunarti Purwaningsih berujar, bentuk penyelamatan tersebut berupa intervensi khusus. Hanya, menurut dia, bentuk intervensinya akan berbeda pada tiap daerah. “Bergantung pada ekologi bahasa dan konteks masyarakatnya,” tutur Sri di tempat yang sama.
Dalam konferensi tahun ini, kata Sri, ada beberapa hal yang akan dibicarakan peneliti, pemangku kebijakan, dan perwakilan dari masyarakat. Pertama, membicarakan bentuk intervensi penyelamatan.
Kedua, membahas persoalan globalisasi dan pengaruhnya terhadap bahasa-bahasa etnis yang ada di Indonesia. Ketiga, merumuskan peran bahasa dalam konstruksi identitas nasional. Dan terakhir, membangun jejaring akademik berbagai disiplin ilmu.
Menurut Sri, Indonesia memiliki 750 lebih bahasa etnis. “Fungsi bahasa daerah amat banyak,” katanya. Yakni sebagai identitas kedaerahan, wahana komunikasi dalam suatu masyarakat adat, dan mentransmisikan tradisi lisan Nusantara yang sarat akan kearifan lokal. Tak heran jika Indonesia menjadi laboratorium bahasa terbesar kedua di dunia.
Konferensi tahun ini akan digelar pada 25-26 November 2015 di gedung LIPI, Jakarta Selatan. Ada tiga pemakalah utama dalam konferensi ini.
Pemakalah pertama adalah I Wayan Arka, kandidat profesor di Universitas Udayana, Bali. Arka akan membahas dinamika globalisasi dan glokalisasi dalam kaitannya dengan masalah konservasi bahasa dengan menyorot bahasa-bahasa di Indonesia timur.
Glokalisasi, akronim dari kata “global” dan “lokalisasi”, adalah jargon bisnis untuk menyebut adaptasi produk atau jasa terhadap kearifan lokal. Istilah ini pertama dipopulerkan Roland Robertson, sosiolog dari University of Aberdeen, Skotlandia, pada awal dekade 1990.
Pemakalah lain ialah Sebastianus Fernandez, pakar linguistik dari Universitas Nusa Cendana, Kupang. Sebastianus akan membicarakan posisi bahasa dalam politik dan konstruksi nasionalisme di Indonesia. Pemakalah ketiga adalah Asako Shiohara, kandidat profesor di Tokyo University, Jepang.
Dalam konferensi dua hari ini, juga ada panel diskusi lain yang akan membahas lebih terperinci masalah-masalah kebahasaan yang ada.
AMRI MAHBUB