TEMPO.CO, Jakarta - Kehilangan penglihatan di usia 11 tahun tak jadi halangan berarti bagi Dimas Prasetyo Muharam untuk tetap produktif. Pria 27 tahun ini bisa meraih gelar sarjana, menghidupi diri, dan tetap eksis dalam kehidupan sosial.
Semua itu, kata Dimas, bisa terjadi berkat kemajuan teknologi. "Sekarang hidup sangat terbantu teknologi," ujarnya di sela diskusi Peta Kaum Muda Indonesia di kantor Tempo, Jakarta, Selasa 24 November 2015.
Baca Juga:
Dari rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Dimas pergi ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, dengan bantuan ojek aplikasi. Di telepon selulernya, ia tidak mengetik, tapi mengucapkan perintah. Gawainya akan secara otomatis menerjemahkan perintah itu dalam aplikasi. Begitu juga aplikasi itu akan membacakan tiap pesan yang masuk dan mengetikkan balasan yang didiktekan oleh Dimas. Melalui aplikasi itu, ia juga dapat mengetahui berita terkini, dibacakan buku elektronik, hingga sahut-menyahut dalam diskusi kekinian di media sosial.
Eksistensinya di berbagai jejaring sosial itu juga lah yang membuat Dimas mengikuti diskusi Peta Kaum Muda Indonesia. Dari pengalamannya, ia tertarik untuk mengetahui bagaimana kemajuan teknologi digital mempengaruhi anak muda lain. Sebab, generasi millennial, yang lahir setelah 1980, disebut memiliki karakter berbeda dibanding generasi sebelumnya.
Bila generasi sebelumnya dibesarkan pada era TVRI, generasi millennial tumbuh di tengah kepungan ratusan kanal televisi, ratusan portal berita yang menyajikan informasi hiburan, sampai jual-beli barang bekas. Path, Instagram, Line, Vine, YouTube, Facebook, dan Twitter membuat generasi millennial terhubung dengan warga dunia, setiap saat, di mana saja berada.
Dimas dengan tekun mendengarkan para pembicara, termasuk Rocky Gerung (dosen filsafat Universitas Indonesia) serta beberapa wartawan senior Tempo. Ia juga turut berdiskusi dan bergoyang saat penyanyi Hip Hop, Joshua JFlow Matulessy, menyanyi.
Diskusi Peta Kaum Muda Indonesia akan digelar Tempo Institute di lima kota mulai Selasa, 24 November, sampai 4 Desember 2015 di lima kota, Jakarta, Bandung, Medan, Makassar, dan Denpasar. Program ini bertujuan merekam gagasan, mimpi, dan kerisauan anak muda saat ini. “Berbagai lembaga sibuk dengan program revolusi mental, tapi isinya ceramah satu arah yang membosankan,” kata Mardiyah Chamim, Direktur Tempo Institute.
Karena itu, Lawatan 5 Kota-Peta Kaum Muda, yang bekerja sama dengan Tempo Institute Indonesia dan FES (Friedrich Ebert Stiftung), adalah ajakan bagi orang muda untuk mengenali diri. Ini langkah penting karena Indonesia akan menyambut masa bonus demografi ketika sebagian besar populasinya adalah anak muda.
PINGIT ARIA