TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dari Fraksi Hanura, Syarifuddin Sudding, mengatakan akan mendesak pelaksanaan sidang etik dugaan pencatutan nama dalam renegosiasi PT Freeport Indonesia secara terbuka. Menurut Sudding, sidang etik bagi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto adalah pertarungan dan pembuktian MKD sebagai badan kelengkapan DPR.
MKD harus membuktikan bahwa lembaga ini mampu menjaga pamor DPR, bukan individu anggotanya. "Kalau memang tak bisa menjalankan sidang dengan baik, bubarkan saja MKD," kata kata Sudding di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 24 November 2015. "Harus ada yang bisa dipertanggungjawabkan."
Hanura memahami bahwa aturan beracara MKD bersifat tertutup. Namun kemungkinan bisa terbuka bila anggota MKD mau, yang diputuskan dalam rapat pleno. "Jadi bisa terbuka," ujar Sudding sembari menambahkan bahwa anggota MKD tak bisa menutup mata terhadap kepentingan publik atau masyarakat tentang kejelasan kasus yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto.
Suding menjelaskan, sidang MKD secara terbuka lebih tepat karena mampu memberikan kepercayaan jalannya proses secara fair dan adil. Soal pelanggaran, Sudding emoh berkomentar detail dengan alibi belum terlalu memahami utuh kasus tersebut.
Menurut Suding, dalam sidang etik, fokusnya adalah membedah secara detail setiap kalimat yang terucap sesuai dengan transkrip pembicaraan dalam pertemuan Setya Novanto dengan petinggi Freeport dan seorang pengusaha. Sanksi harus sesuai dengan apa yang terungkap dan terbukti dalam sidang etik.
Setya Novanto bukan kali ini saja "diadili" dalam sidang etik. Sebelumnya, petinggi Partai Golkar tersebut "dihukum" teguran oleh MKD karena hadir dalam kampanye Donald Trump di Amerika Serikat. MKD menjatuhkan sanksi ringan meski Setya Novanto selalu mangkir dalam pemeriksaan etik.
FRANSISCO ROSARIANS