TEMPO.CO, Makassar - Lembaga Bantuan Hukum Pers Makassar dan Koalisi Jurnalis Makassar mendesak kepolisian menuntaskan kasus kekerasan jurnalis saat meliput unjuk rasa mahasiswa Universitas Negeri Makassar pada 13 November 2014. Dalam peristiwa unjuk rasa yang diwarnai bentrokan itu, empat jurnalis menjadi korban kekerasan aparat. Setahun berlalu, penanganan kasus itu mangkrak kendati sudah ada dua polisi yang ditetapkan sebagai tersangka.
Direktur LBH Pers Makassar Fajriani Langgeng mempertanyakan lambannya penanganan kasus tersebut. Padahal pihaknya telah membantu kepolisian dalam pengumpulan barang bukti berupa video, foto, dan keterangan saksi. "Tidak ada perkembangan signifikan proses penyidikan kasus yang telah berproses selama setahun itu," katanya di Sekretariat LBH Makassar, Minggu, 22 November. "Kepolisian tidak profesional."
Kasus kekerasan jurnalis ditangani Kepolisian Resor Kota Besar Makassar. Empat jurnalis yang menjadi korban melaporkan peristiwa itu. Keempatnya adalah Ikhsan Arham (fotografer Harian Rakyat Sulsel), Iqbal Lubis (fotografer Koran Tempo Makassar), Ikrar (jurnalis Celebes TV), dan Vincent Waldy (jurnalis Metro TV). Adapun dua tersangka berasal dari Satuan Brimob Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, yakni Bripda FA dan Bripda YP.
Dalam perkembangannya, penanganan kasus ini mandek dengan pelbagai alasan. Fajriani menyebutkan para penyidik kasus itu berdalih belum merampungkan pemberkasan karena terhambat keterangan saksi dan saksi ahli. Padahal semua hal itu sudah sempat ia koordinasikan. Fajriani khawatir ada upaya kepolisian melindungi tersangka dengan cara terus mengulur waktu sampai batas penanganan kasus tersebut dinyatakan kedaluwarsa.
Staf Advokasi LBH Pers Makassar, Anggareksa, menambahkan, mangkraknya penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis ini lantaran polisi terkesan setengah hati menuntaskan perkara yang melibatkan oknum aparat. "Tidak ada itikad baik kepolisian untuk menyelesaikan perkara tersebut. Permasalahannya ada pada kemauan yang sampai sekarang tidak terlihat," ucap Anggareksa, yang berharap pimpinan kepolisian daerah ini segera turun tangan.
Selain tindak pidana, penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis diproses melalui sidang kode etik dan disiplin. Sayangnya, penanganannya pun dianggap tidak serius. Sejauh ini, cuma Bripda FA yang telah divonis bersalah. Bripda FA dijatuhi hukuman berupa penempatan dalam tempat khusus selama 21 hari dan penundaan mengikuti pendidikan selama satu tahun. Adapun proses sidang disiplin dan kode etik Bripda YP serta puluhan polisi lainnya sampai sekarang tidak jelas.
Juru bicara Koalisi Jurnalis Makassar, Ridwan Marzuki, mengatakan semestinya sidang disiplin dan kode etik itu menjadi acuan untuk memperkuat indikasi pidana yang dilakukan oknum polisi. KJM ditegaskannya terus mendorong proses pemidanaan oknum polisi itu agar memberi efek jera sehingga tidak lagi ada jurnalis ataupun masyarakat yang menjadi korban kekerasan aparat. "Jangan karena pelakunya polisi sehingga dilindungi."
Ridwan menilai proses penyidikan kasus kekerasan jurnalis terlalu lamban. Kepolisian pun disinyalir bersikap tidak profesional dan transparan. Musababnya, penyidik Korps Bhayangkara tidak pernah lagi menyampaikan progres penanganan perkara, seperti melayangkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan kepada para korban ataupun tim advokasi.
Juru bicara Polrestabes Makassar, Komisaris Andi Husnaeni, membantah bahwa kepolisian tidak profesional. Penetapan tersangka terhadap dua oknum polisi adalah bukti bahwa pihaknya tidak melindungi aparat bila melakukan tindak pidana. Disinggung soal belum tuntasnya pemberkasan kasus itu, Husnaeni berdalih belum mengetahui persis kendalanya dari pihak penyidik reserse kriminal.
"Kami selalu bertindak profesional dan transparan. Tidak mungkin kami menutupi atau melindungi anggota kepolisian bila memang melakukan kesalahan. Kalau soal perkembangan penyidikan, saya belum monitor ke penyidiknya," ucapnya.
TRI YARI KURNIAWAN