Di Banyuwangi, Jawa Timur, baru lima usaha kayu yang memperoleh SLK, serta dua IKM yang menggunakan dokumen Deklarasi Ekspor. Data dari Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan setempat menunjukkan, ada 173 IKM dan UKM berbahan kayu yang hingga bulan ini belum memiliki SVLK.
Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri pada Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan, Banyuwangi, Gela Rusmaningrum, mengatakan, 50 persen dari IKM/UKM itu tak punya legalitas usaha sehingga kesulitan untuk mengurus SVLK. Sedangan 50 persen sisanya mengekspor produknya melalui perusahaan lain di Bali. “Dua faktor itulah yang membuat banyak usaha belum mengurus SVLK,” katanya.
Gela mengakui Pemerintah Banyuwangi belum memiliki kebijakan khusus untuk membantu percepatan SVLK di daerahnya. Instansinya tidak memiliki anggaran untuk mensosialisasikan SVLK kepada pelaku usaha kayu.
Pemilik UD Widodo Handycraft di Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi, Made Widodo, mengaku belum mengetahui apa itu SVLK. “Saya baru mendengarnya,” kata dia.
Made menjelaskan, meski sudah berbentuk usaha dagang (UD), usahanya belum memiliki izin gangguan. Sejumlah dokumen perizinan, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) pun sudah kadaluarsa sejak lima tahun lalu. “Mau memperpanjang lagi sedang tak punya biaya,” kata pria yang merintis usahanya sejak 1997 ini.
Menurut Made, dia biasanya mengirim paling sedikit 1.500 item kerajinan dari kayu sengon seperti topeng, patung, dan ukiran ke beberapa agen di Bali. Sebagian handycraft tersebut, melalui agen di Bali itu, dikirim ke Perancis, Australia, dan Cina.
IKA NINGTYAS