TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Miko Ginting, menganggap, setahun kepemimpinan Jaksa Agung H.M. Prasetyo, tidak ada kemajuan reformasi penegakan hukum, penanganan pelanggaran HAM masa lalu, dan pemberantasan korupsi. "Untuk itu, Jokowi harus bisa mengevaluasi kinerjanya, ketika setahun tidak ada prestasi, tidak ada pilihan selain mencopot," katanya di LBH Jakarta, Rabu, 18 November 2015.
Hal ini, kata Miko, berawal dari ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi di sektor penegakan hukum. "Sektor penegakan hukum menjadi yang terendah," katanya.
Maka itu, ia menyarankan proses pemilihan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. "Butuh jaksa agung yang bebas dari tindakan kriminal, terlepas dari afiliasi politik, dan punya visi pembaruan," katanya.
"Jokowi juga berjanji memilih penegak hukum yang bersih dan ini momentum untuk memilih itu," ucapnya.
Bukan hanya pencopotan H.M. Prasetyo, ia juga meminta Presiden Jokowi memimpin langsung reformasi penegakan hukum. "Kalau punya niat bersama, ini momentum yang tepat untuk memilih pimpinan yang tepat atau presiden sendiri yang memimpin langsung reformasi kejaksaan," katanya.
Terkait dengan jaksa Yudi, kata Miko, dapat diduga keras ada intervensi terhadap penyidikan dalam pusaran kasus OC Kaligis dan Patrice Rio Capella. "Nuansa intervensi penyidikan sangat tinggi. Jaksa agung gagal menunjukkan dirinya sebagai pimpinan lembaga," tuturnya.
Sebelumnya, Miko menjelaskan bahwa Jokowi telah melakukan kesalahan ketika memilih pimpinan lembaga hukum yang tidak punya visi pembaruan. "Pertama, pemilihan H.M. Prasetyo yang tidak dipilih secara clear dan pengajuan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Ini titik penting untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama," katanya.
ARKHELAUS W