TEMPO.CO, Jakarta - Setelah mendesak Setya Novanto supaya mundur dari jabatan Ketua DPR, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meminta pemerintah mengevaluasi keberadaan Freeport di Papua. Menurut politikus PDIP, Masinton Pasaribu, terungkapnya rekaman pembicaraan pimpinan DPR dengan perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat itu merupakan skandal.
"Skandal rekaman menjadi momentum mengevaluasi keberadaan PT Freeport," katanya di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta Selatan, pada Rabu, 18 November 2015. Perusahaan itu, kata Masinton, memberi manfaat yang sedikit bagi Indonesia selama puluhan tahun.
"Asas pemanfaatan terhadap bangsa ini sangat minim," ujar Masinton. PT Freeport Indonesia telah mengolah tambang emas di Papua selama 48 tahun. Pada 2021, kerja sama kontrak karya antara Freeport dan pemerintah Indonesia jatuh tempo. Dua tahun sebelum kontrak karya habis, harus ada kepastian dilanjutkan atau tidak.
Pemerintah Indonesia memberi sinyal melanjutkan kontrak Freeport dengan sejumlah syarat. Di antaranya, PT Freeport harus membangun smelter, melepas sebagian saham (divestasi), dan memberi manfaat kepada rakyat Papua. Dalam divestasi itulah Setya Novanto disebut-sebut meminta jatah saham kepada Freeport dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Modus itu diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Kasus ini juga dilaporkan Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dari sinilah politikus PDIP, Adian Napitupulu, mendesak Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR. Jika Setya tetap menjabat, Adian khawatir Ketua DPR tersebut akan mengintervensi kinerja MKD.
Masinton menambahkan, banyak pelanggaran yang dilakukan PT Freeport dalam melakukan eksploitasi tambang di Papua, terutama kerusakan lingkungan, sehingga cara bisnis seperti itu dinilai sangat merugikan Indonesia. "Jadi, di samping menyelidiki SN (Setya Novanto), yang dilaporkan ke MKD, keberadaan PT Freeport harus dievaluasi."
Masinton, yang merupakan anggota Komisi Hukum DPR, mendatangi KPK untuk berkonsultasi dan menanyakan perkembangan laporan dugaan gratifikasi Direktur Utama Pelindo II RJ Lino terhadap Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno.
FRISKI RIANA