TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mendorong supaya nama pencatut Presiden Joko Widodo dan dirinya dalam memuluskan renegosiasi kontrak dengan PT Freeport Indonesia diproses secara hukum. Langkah hukum ini ditempuh setelah proses yang berlangsung di DPR selesai.
Saat ini Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat sedang memproses pelaporan pencatut nama Presiden, yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. "Setelah langkah politik, selanjutnya diselesaikan ke hukum," kata Kalla setelah menjadi pembicara utama dalam Tempo Economic Briefing di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, 17 November 2015.
Kalla menyerahkan urusan sanksi kepada Mahkamah Kehormatan Dewan selaku Badan Kehormatan DPR. Seperti sanksi keharusan mundurnya politikus pencatut nama Presiden dari jabatannya sebagai anggota DPR. "Kalau mundur itu urusan DPR," ujarnya.
Kemarin, Kalla menerima kedatangan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto di kantornya. Di depan Kalla, Setya membantah dirinya adalah politikus, yang disebut Menteri Sudirman Said, yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam memuluskan renegosiasi kontrak dengan PT Freeport.
Setya Novanto mengklaim tidak pernah membawa nama Presiden dan Wakil Presiden untuk melobi Freeport. "Saya tidak pernah membawa-bawa nama Presiden ataupun Pak Wapres karena yang saya lakukan adalah yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara, dan untuk kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Papua," tuturnya, Senin, 16 November 2015.
Kontrak karya PT Freeport Indonesia akan berakhir pada 2021. Aturannya, kontrak itu akan dibahas dua tahun sebelum jatuh tempo, yaitu pada 2019. Menurut Sudirman, dalam lobi-lobi, pencatut meminta saham 20 persen. Saham itu akan dibagikan kepada Presiden Jokowi sebesar 11 persen dan Wakil Presiden Jusuf Kalla 9 persen. "Keterangan ini didapat melalui bukti tertulis yang diberikan pimpinan Freeport."
ALI HIDAYAT